Terimakasih atas kunjungan anda
|
|
Tribhuwana Wijayatunggadewi adalah penguasa ketiga Majapahit yang memerintah tahun
1328-1351. Dari prasasti Singasari (1351) diketahui gelar abhisekanya ialah Sri
Tribhuwanotunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani.
Silsilah Tribhuwana Nama asli Tribhuwana Wijayatunggadewi (atau disingkat Tribhuwana) adalah Dyah Gitarja. Ia merupakan putri dari Raden Wijaya dan Gayatri. Memiliki adik
kandung bernama Dyah Wyat
dan kakak tiri bernama Jayanagara. Pada masa pemerintahan Jayanagara
(1309-1328) ia diangkat sebagai penguasa bawahan di Jiwana bergelar Bhre
Kahuripan.
Menurut Pararaton, Jayanagara merasa
takut takhtanya terancam, sehingga ia melarang kedua adiknya menikah. Setelah
Jayanagara meninggal tahun 1328, para ksatriya pun berdatangan melamar kedua
putri. Akhirnya, setelah melalui suatu sayembara, diperoleh dua orang pria,
yaitu Cakradhara sebagai suami Dyah Gitarja, dan Kudamerta sebagai suami Dyah
Wiyat.
Cakradhara bergelar Kertawardhana
Bhre Tumapel. Dari perkawinan itu lahir Dyah Hayam Wuruk dan Dyah Nertaja.
Hayam Wuruk kemudian diangkat sebagai yuwaraja bergelar Bhre Kahuripan atau
Bhre Jiwana, sedangkan Dyah Nertaja sebagai Bhre Pajang.
Pemerintahan Tribhuwana
Menurut Nagarakretagama, Tribhuwana naik takhta atas perintah ibunya (Gayatri)
tahun 1329 menggantikan Jayanagara yang meninggal tahun 1328. Ketika Gayatri
meninggal dunia tahun 1350, pemerintahan Tribhuwana pun berakhir pula.
Berita tersebut menimbulkan kesan
bahwa Tribhuwana naik takhta mewakili Gayatri. Meskipun Gayatri hanyalah putri
bungsu Kertanagara, tapi mungkin ia satu-satunya yang masih hidup di antara
istri-istri Raden Wijaya sehingga ia dapat mewarisi takhta Jayanagara yang
meninggal tanpa keturunan. Tetapi saat itu Gasyatri telah menjadi pendeta Budha, sehingga
pemerintahannya pun diwakili putrinya, yaitu Tribhuwana Tunggadewi.
Menurut Nagarakretagama, Tribhuwana
memerintah didampingi suaminya, Kertawardhana. Pada tahun 1331 ia menumpas
pemberontakan daerah Sadeng dan Keta. Menurut Pararaton terjadi persaingan
antara Gajah Mada dan Ra Kembar dalam memperebutkan posisi panglima penumpasan
Sadeng. Maka, Tribhuwana pun berangkat sendiri sebagai panglima menyerang
Sadeng, didampingi sepupunya, Adityawarman.
Peristiwa penting berikutnya dalam
Pararaton adalah Sumpah Palapa yang diucapkan Gajah Mada saat dilantik sebagai
rakryan patih Majapahit tahun 1334. Gajah Mada bersumpah tidak akan menikmati
makanan enak (rempah-rempah) sebelum berhasil menaklukkan wilayah kepulauan
Nusantara di bawah Majapahit.
Pemerintahan Tribhuwana terkenal
sebagai masa perluasan wilayah Majapahit ke segala arah sebagai pelaksanaan
Sumpah Palapa. Tahun 1343 Majapahit mengalahkan raja Kerajaan Pejeng (Bali),
Dalem Bedahulu, dan kemudian seluruh Bali. Tahun 1347 Adityawarman yang masih
keturunan Melayu dikirim untuk menaklukkan sisa-sisa Kerajaan Sriwijaya dan
Kerajaan Malayu. Ia kemudian menjadi uparaja (raja bawahan) Majapahit di
wilayah Sumatera. Perluasan Majapahit dilanjutkan pada masa pemerintahan Hayam
Wuruk, di mana wilayahnya hingga mencapai Lamuri di ujung barat sampai Wanin di
ujung timur.
Nagarakretagama menyebutkan akhir
pemerintahan Tribhuwana adalah tahun 1350, bersamaan dengan meninggalnya
Gayatri. Berita ini kurang tepat karena menurut prasasti Singasari, pada tahun
1351 Tribhuwana masih menjadi raja Majapahit.
Akhir Hayat Tribhuwana
Tribhuwana Wijayatunggadewi diperkirakan turun takhta tahun 1351 (sesudah
mengeluarkan prasasti Singasari). Ia kemudian kembali menjadi Bhre Kahuripan
yang tergabung dalam Saptaprabhu, yaitu semacam dewan pertimbangan agung yang
beranggotakan keluarga raja. Adapun yang menjadi raja Majapahit selanjutnya
adalah putranya, yaitu Hayam Wuruk.
Tidak diketahui dengan pasti kapan
tahun kematian Tribhuwana. Pararaton hanya memberitakan Bhre Kahuripan tersebut
meninggal dunia setelah pengangkatan Gajah Enggon sebagai patih tahun 1371.
Menurut Pararaton, Tribhuwanatunggadewi didharmakan di candi Pantarapura di Desa Panggih. Sedangkan
suaminya, yaitu Kertawardhana Bhre Tumapel meninggal tahun 1386, dan
didharmakan di Candi Sarwa Jayapurwa, yang terletak di desa Japan
Hayam Wuruk adalah raja keempat Kerajaan Majapahit yang memerintah
tahun 1351-1389, bergelar Maharaja Sri Rajasanagara. Di bawah pemerintahannya,
Kerajaan Majapahit mencapai zaman kejayaannya.
Silsilah Hayam Wuruk Nama Hayam Wuruk artinya "ayam yang terpelajar".
Ia adalah putra pasangan Tribhuwana Tunggadewi dan Sri Kertawardhana alias
Cakradhara. Ibunya adalah putri Raden Wijaya pendiri Majapahit, sedangkan
ayahnya adalah raja bawahan di Singhasari bergelar Bhre Tumapel.
Hayam
Wuruk dilahirkan tahun 1334. Peristiwa kelahirannya diawali dengan gempa bumi
di Pabanyu Pindah dan meletusnya Gunung Kelud. Pada tahun itu pula Gajah Mada
mengucapkan Sumpah Palapa.
Hayam
Wuruk memiliki adik perempuan bernama Dyah Netarja alias Bhre Pajang, dan adik angkat
bernama Indudewi alias Bhre Lasem, yaitu putri Rajadewi, adik ibunya.
Permaisuri
Hayam Wuruk bernama Sri Sudewi bergelar Padukasori putri Wijayarajasa Bhre Wengker. Dari
perkawinan itu lahir Kusumawardhani yang menikah dengan Wikramawardhana putra
Bhre Pajang. Hayam Wuruk juga memiliki putra dari selir yang menjabat sebagai
Bhre Wirabhumi, yang menikah dengan Nagarawardhani putri Bhre Lasem.
Masa pemerintahan Hayam Wuruk Di bawah kekuasaan Hayam Wuruk, Majapahit
menaklukkan Kerajaan Pasai dan Aru (kemudian bernama Deli, dekat Medan
sekarang). Majapahit juga menghancurkan Palembang, sisa-sisa pertahanan
Kerajaan Sriwijaya (1377).
Peristiwa
Bubat Artikel utama untuk bagian ini
adalah: Perang Bubat Tahun 1351, Hayam Wuruk hendak menikahi puteri Raja Galuh (di
Jawa Barat), Dyah Pitaloka Citraresmi. Pajajaran setuju asal bukan maksud
Majapahit untuk mencaplok kerajaan Galuh. Ketika dalam perjalanan menuju
upacara pernikahan, Gajah Mada mendesak kerajaan Galuh untuk menyerahkan puteri
sebagai upeti dan tunduk kepada Majapahit. Kerajaan Galuh menolak, akhirnya
pecah pertempuran, Perang Bubat. Dalam peristiwa menyedihkan ini seluruh
rombongan kerajaan Galuh tewas. (Galuh-Sunda) adalah awal kehancuran bagi Maha Patih Gajah Mada, sampai akhir hayatnya Kerajaan Sunda - Galuh sebagai negara merdeka dari Majapahit.
"Kecelakaan
sejarah" ini hingga sekarang masih dikenang terus oleh masyarakat Jawa
Barat dalam bentuk penolakan nama Hayam Wuruk dan Gajah Mada bagi pemberian
nama jalan di wilayah ini. Sastra Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, kitab Kakawin Sutasoma (yang memuat
semboyan Bhinneka Tunggal Ika tan Hana Dharma Mangrwa) digubah oleh Mpu
Tantular, dan kitab Nagarakretagama digubah oleh Mpu Prapanca (1365).
Tahun 1389, Hayam Wuruk meninggal
dengan dua anak: Kusumawardhani
(yang bersuami Wikramawardhana), serta Wirabhumi yang merupakan anak dari
selirnya. Namun yang menjadi pengganti Hayam Wuruk adalah menantunya,
Wikramawardhana.
Silsilah Tribhuwana
Nama
asli Tribhuwana Wijayatunggadewi (atau disingkat Tribhuwana) adalah Dyah
Gitarja. Ia merupakan putri dari Raden Wijaya dan Gayatri. Memiliki adik
kandung bernama Dyah Wiyat dan kakak tiri bernama Jayanagara. Pada masa
pemerintahan Jayanagara (1309-1328) ia diangkat sebagai penguasa bawahan di
Jiwana bergelar Bhre Kahuripan.
Menurut
Pararaton, Jayanagara merasa takut takhtanya terancam, sehingga ia melarang
kedua adiknya menikah. Setelah Jayanagara meninggal tahun 1328, para ksatriya
pun berdatangan melamar kedua putri. Akhirnya, setelah melalui suatu sayembara,
diperoleh dua orang pria, yaitu Cakradhara sebagai suami Dyah Gitarja, dan
Kudamerta sebagai suami Dyah Wiyat.
Cakradhara bergelar Kertawardhana
Bhre Tumapel. Dari perkawinan itu lahir Dyah Hayam Wuruk dan Dyah Nertaja.
Hayam Wuruk kemudian diangkat sebagai yuwaraja bergelar Bhre Kahuripan atau
Bhre Jiwana, sedangkan Dyah Nertaja sebagai Bhre Pajang.
Wikramawardhana adalah raja kelima
Majapahit yang memerintah berdampingan dengan istri sekaligus sepupunya, yaitu
Kusumawardhani putri Hayam Wuruk, pada tahun 1389-1427.
Silsilah
Wikramawardhana dan Kusumawardha Wikramawardhana dalam Pararaton bergelar Bhra Hyang Wisesa Aji Wikrama.
Nama aslinya adalah Raden Gagak Sali. Ibunya bernama Dyah Nertaja, adik Hayam
Wuruk, yang menjabat sebagai Bhre Pajang. Sedangkan ayahnya bernama Raden
Sumana yang menjabat sebagai Bhre Paguhan, bergelar Singhawardhana.
Permaisurinya,
yaitu Kusumawardhani adalah putri Hayam Wuruk yang lahir dari Padukasori. Dalam
Nagarakretagama (ditulis 1365), Kusumawardhani dan Wikramawardhana diberitakan
sudah menikah. Padahal waktu itu Hayam Wuruk baru berusia 31 tahun. Maka, dapat
dipastikan kalau kedua sepupu tersebut telah dijodohkan sejak kecil. Dari
perkawinan itu, lahir putra mahkota bernama Rajasakusuma bergelar Hyang
Wekasing Sukha, yang meninggal sebelum sempat menjadi raja. Pararaton juga
menyebutkan, Wikramawardhana memiliki tiga orang anak dari selir, yaitu Bhre
Tumapel, Suhita, dan Kertawijaya. Bhre Tumapel lahir dari Bhre Mataram, putri
Bhre Pandansalas. Ia menggantikan Rajasakusuma sebagai putra mahkota, tetapi
juga meninggal sebelum sempat menjadi raja. Kedudukan sebagai pewaris takhta
kemudian dijabat oleh Suhita yang lahir dari Bhre Daha putri Bhre Wirabhumi.
Awal
Pemerintahan Wikramawardhana dan Kusumawardhani Saat Nagarakretagama ditulis
tahun 1365, Kusumawardhani masih menjadi putri mahkota sekaligus Bhre Kabalan.
Sedangkan Wikramawardhana menjabat Bhre Mataram dan mengurusi masalah perdata.
Menurut
Pararaton, sepeninggal Hayam Wuruk tahun 1389, Kusumawardhani dan Wikramawardhana
naik takhta dan memerintah berdampingan. Jabatan Bhre Mataram lalu dipegang
oleh selir Wikramawardhana, yaitu putri Bhre Pandansalas alias Ranamanggala.
Ibu Bhre Mataram adalah adik Wikramawardhana sendiri yang bernama Surawardhani
alias Bhre Kahuripan. Jadi, Wikramawardhana menikahi keponakannya sendiri
sebagai selir.
Rajasakusuma
sang putra mahkota diperkirakan mewarisi jabatan Bhre Kabalan menggantikan
ibunya, meskipun tidak disebut secara tegas dalam Pararaton. Pada tahun 1398
Rajasakusuma mengangkat Gajah Menguri sebagai patih menggantikan Gajah Enggon
yang meninggal dunia. Berita dalam Pararaton ini harus ditafsirkan sebagai
“mengusulkan”, bukan “melantik”. Rajasakusuma meninggal tahun 1399. Candi
makamnya bernama Paramasuka Pura di Tanjung. Kedudukan putra mahkota lalu
dijabat Bhre Tumapel putra Wikramawardhana dan Bhre Mataram. Pada tahun 1400
Wikramawardhana turun takhta untuk hidup sebagai pendeta. Kusumawardhani pun
memerintah secara penuh di Majapahit.
Peninggalan sejarah Wikramawardhana
berupa prasasti Katiden (1395), yang berisi penetapan Gunung Lejar sebagai
tempat pendirian sebuah bangunan suci.
Silsilah Wikramawardhana dan
Kusumawardhani
Wikramawardhana
dalam Pararaton bergelar Bhra Hyang Wisesa Aji Wikrama. Nama aslinya adalah
Raden Gagak Sali. Ibunya bernama Dyah Nertaja, adik Hayam Wuruk, yang menjabat
sebagai Bhre Pajang. Sedangkan ayahnya bernama Raden Sumana yang menjabat
sebagai Bhre Paguhan, bergelar Singhawardhana.
Permaisurinya, yaitu Kusumawardhani
adalah putri Hayam Wuruk yang lahir dari Padukasori. Dalam Nagarakretagama
(ditulis 1365), Kusumawardhani dan Wikramawardhana diberitakan sudah menikah.
Padahal waktu itu Hayam Wuruk baru berusia 31 tahun. Maka, dapat dipastikan
kalau kedua sepupu tersebut telah dijodohkan sejak kecil.
Silsilah Bhre Wirabhumi
Perang
Paregreg adalah perang yang terkait dengan tokoh Bhre Wirabhumi.
Nama
asli Bhre Wirabhumi tidak diketahui. Menurut Pararaton ia adalah putra Hayam Wuruk dari selir, dan menjadi anak
angkat Bhre Daha istri Wijayarajasa, yaitu Rajadewi. Bhre Wirabhumi kemudian
menikah dengan Bhre Lasem sang Alemu, putri Bhre Pajang (adik Hayam Wuruk). Menurut Nagarakretagama istri Bhre Wirabhumi adalah Nagarawardhani putri Bhre
Lasem alias Indudewi. Indudewi adalah putri Rajadewi dan Wijayarajasa. Berita
dalam Nagarakretagama lebih dapat dipercaya dari pada Pararaton, karena ditulis
pada saat Bhre Wirabhumi masih hidup.
Jadi kesimpulannya, Bhre Wirabhumi lahir dari selir Hayam Wuruk, menjadi anak angkat Rajadewi (bibi Hayam Wuruk), dan kemudian dinikahkan dengan Nagarawardhani cucu Rajadewi.
Jadi kesimpulannya, Bhre Wirabhumi lahir dari selir Hayam Wuruk, menjadi anak angkat Rajadewi (bibi Hayam Wuruk), dan kemudian dinikahkan dengan Nagarawardhani cucu Rajadewi.
Dalam
Perang Paregreg; Adalah perang antara Majapahit istana barat yang
dipimpin Wikramawardhana, melawan istana timur yang dipimpin Bhre Wirabhumi.
Perang ini terjadi tahun 1404-1406 dan menjadi penyebab utama kemunduran
Majapahit.
Menurut pararaton, Wikramawardhana kembali menjadi raja, karena Kusumawardhani meninggal dunia Kusumawardani dicandikan di Pabangan bernama Laksmipura
Menurut pararaton, Wikramawardhana kembali menjadi raja, karena Kusumawardhani meninggal dunia Kusumawardani dicandikan di Pabangan bernama Laksmipura
Pada
tahun 1401 Wikramawardhana berselisih dengan Bhre Wirabhumi, saudara
tiri Kusumawardhani. Perselisihan antara penguasa Majapahit Barat dan Majapahit
Timur itu memuncak menjadi perang saudara tahun 1404, yang disebut perang
Paregreg.
Pada tahun 1406 pasukan
istana barat dipimpin Bhre Tumapel menghancurkan istana timur. Bhre Wirabhumi
tewas di tangan Raden Gajah alias Bhra Narapati. Wikramawardhana kemudian
memboyong Bhre Daha putri Bhre Wirabhumi sebagai selir.
Silsilah Bhre Wirabhumi
Perang Paregreg adalah perang yang
identik dengan tokoh Bhre Wirabhumi.
Nama asli Bhre Wirabhumi tidak
diketahui. Menurut Pararaton, ia adalah putra Hayam Wuruk dari selir, dan
menjadi anak angkat Bhre Daha istri Wijayarajasa, yaitu Rajadewi. Bhre
Wirabhumi kemudian menikah dengan Bhre Lasem sang Alemu, putri Bhre Pajang
(adik Hayam Wuruk).
Menurut Nagarakretagama, istri Bhre
Wirabhumi adalah Nagarawardhani
putri Bhre Lasem alias Indudewi.
Indudewi adalah putri Rajadewi dan Wijayarajasa. Berita dalam Nagarakretagama
lebih dapat dipercaya dari pada Pararaton, karena ditulis pada saat Bhre Wirabhumi
masih hidup.
Jadi kesimpulannya, Bhre Wirabhumi
lahir dari selir Hayam Wuruk, menjadi anak angkat Rajadewi (bibi Hayam Wuruk),
dan kemudian dinikahkan dengan Nagarawardhani cucu Rajadewi.
Perang Dingin Wikramawardhana dan
Bhre WirabhumiPada masa pemerintahan Hayam Wuruk
dan Wijayarajasa, hubungan antara Majapahit istana barat dan timur masih
diliputi perasaan segan, mengingat Wijayarajasa adalah mertua Hayam Wuruk.
Wijayarajasa meninggal tahun 1398.
Ia digantikan anak angkat sekaligus suami cucunya, yaitu Bhre Wirabhumi sebagai
raja istana timur. Sementara itu Hayam Wuruk meninggal tahun 1389. Ia
digantikan keponakan sekaligus menantunya, yaitu Wikramawardhana.
[[Ketika Indudewi meninggal
dunia, jabatan Bhre Lasem diserahkan pada putrinya, yaitu Nagarawardhani. Tapi
Wikramawardhana juga mengangkat Kusumawardhani sebagai Bhre Lasem. Itulah
sebabnya, dalam Pararaton terdapat dua orang Bhre Lasem, yaitu Bhre Lasem Sang
Halemu istri Bhre Wirabhumi, dan Bhre Lasem Sang Ahayu istri Wikramawardhana.]]
Sengketa jabatan Bhre Lasem ini
menciptakan perang dingin antara istana barat dan timur, sampai akhirnya Nagarawardhani dan
Kusumawardhani sama-sama meninggal tahun 1400. Wikramawardhana segera
mengangkat menantunya sebagai Bhre Lasem yang baru, yaitu istri Bhre Tumapel
Silsilah Bhatara Hyang Parameswara
Menurut
Pararaton, nama asli Parameswara adalah Aji Ratnapangkaja. Ibunya bernama
Surawardhani alias Bhre Kahuripan, adik Wikramawardhana. Ayahnya bernama Raden
Sumirat yang menjadi Bhre Pandansalas, bergelar Ranamanggala.
Dalam
Nagarakretagama (ditulis 1365), Surawardhani masih menjabat Bhre Pawanuhan dan
belum menikah. Gelar Bhre Kahuripan saat itu masih dijabat neneknya, yaitu
Tribhuwana Tunggadewi. Menurut Pararaton, sepeninggal Tribhuwana Tunggadewi dan
Surawardhani, jabatan Bhre Kahuripan kemudian diwarisi Ratnapangkaja.
Ratnapangkaja
memiliki tiga saudara perempuan, yaitu Bhre Mataram, Bhre Lasem, dan Bhre
Matahun. Ketiganya masing-masing secara unik dinikahi oleh ayah, anak, dan
cucu, yaitu Wikramawardhana, Bhre Tumapel, dan Bhre Wengker.
Bhre Wengker dari istri lain,
memiliki putri Bhre Jagaraga dan Bhre Pajang, yang keduanya dinikahi
Ratnapangkaja. Silsilah ini semakin rumit ketika Ratnapangkaja menikahi Suhita,
putri Wikramawardhana.
Rajasawardhana dalam sejarah
Kerajaan Majapahit merujuk pada dua orang. Yang pertama adalah pejabat Bhre
Matahun pada pemerintahan Hayam Wuruk, sedangkan yang kedua adalah raja
Majapahit yang memerintah tahun 1451-1453.
Rajasawardhana
alias Bhre Matahun Menurut Nagarakretagama, Rajasawardhana alias Bhre Matahun
adalah suami dari Indudewi alias Bhre Lasem putri Rajadewi dan Wijayarajasa.
Dari perkawinan itu, lahir Nagarawardhani yang menikah dengan Bhre Wirabhumi
putra Hayam Wuruk, raja Majapahit saat itu (1351-1389).
Pejabat
Bhre Matahun yang identik dengan Rajasawardhana dalam Pararaton adalah Raden
Larang. Istrinya adalah adik kandung Hayam Wuruk. Perkawinan tersebut tidak
menghasilkan keturunan, karena istri Bhre Wirabhumi versi Pararaton adalah
putri Raden Sumana alias Bhre Paguhan, bukan putri Raden Larang.
Dalam
hal ini, berita dalam Nagarakretagama lebih dapat dipercaya, karena ditulis
tahun 1365, saat Rajasawardhana masih hidup.
Rajasawardhana
Sang Sinagara Raja Majapahit Rajasawardhana yang kedua muncul dalam Pararaton
sebagai raja Majapahit yang naik takhta tahun 1451. Disebutkan bahwa, sebelum
menjadi raja ia pernah menjabat sebagai Bhre Pamotan, Bhre Keling, kemudian
Bhre Kahuripan.
Rajasawardhana
naik takhta menggantikan Dyah Kertawijaya. Hubungan antara keduanya tidak
disebut dengan jelas dalam Pararaton, sehingga muncul pendapat bahwa,
Rajasawardhana adalah adik Dyah Kertawijaya yang melakukan kudeta disertai
pembunuhan terhadap kakaknya tersebut.
Pendapat
di atas perlu diselidiki kebenarannya, karena Pararaton menyebutkan, Dyah
Kertawijaya adalah putra bungsu dalam keluarga Wikramawardhana.
Pendapat
lain mengatakan, Rajasawardhana identik dengan Dyah Wijayakumara, yaitu putra
sulung Dyah Kertawijaya yang namanya tercatat dalam prasasti Waringin Pitu
(1447).
Menurut
prasasti Waringin Pitu, Dyah Wijayakumara memiliki istri bernama
Manggalawardhani Bhre Tanjungpura. Dari perkawinan itu lahir dua orang anak,
yaitu Dyah Samarawijaya dan Dyah Wijayakarana.
Sementara
itu, Rajasawardhana Sang Sinagara dalam Pararaton memiliki empat orang anak,
yaitu Bhre Kahuripan, Bhre Mataram, Bhre Pamotan, dan Bhre Kertabhumi. Jika
Rajasawardhana benar identik dengan Wijayakumara, berarti Bhre Kahuripan dan
Bhre Mataram juga identik dengan Samarawijaya dan Wijayakarana. Mungkin, saat
prasasti Waringin Pitu dikeluarkan (1447), Bhre Pamotan dan Bhre Kertabhumi
belum lahir.
Pemerintahan
Rajasawardhana juga terdapat dalam berita Cina. Disebutkan bahwa pada tahun
1452 Rajasawardhana mengirim duta besar ke Cina.
Menurut Pararaton, sepeninggal
Rajasawardhana tahun 1453, Majapahit mengalami kekosongan pemerintahan selama
tiga tahun. Baru pada tahun 1456, Bhre Wengker naik takhta bergelar Bhra Hyang
Purwawisesa. Tokoh ini dianggap identik dengan Girisawardhana yang tercatat
dalam prasasti Waringin Pitu.
Dyah Kertawijaya adalah raja Majapahit yang memerintah tahun 1447-1451
dengan gelar Sri Maharaja Wijaya Parakramawardhana.
Kertawijaya
dalam Pararaton Menurut Pararaton, Kertawijaya adalah putra Wikramawardhana
dari selir. Putra Wikramawardhana yang lain adalah Hyang Wekasing Sukha, Bhre
Tumapel, dan Suhita. Sebelum menjadi raja, Kertawijaya pernah menjadi Bhre Tumapel,
yaitu menggantikan kakaknya yang meninggal awal tahun 1427.
Kertawijaya
naik takhta menggantikan Suhita tahun 1447. Pada masa pemerintahannya sering
terjadi gempa bumi dan gunung meletus. Juga terjadi peristiwa pembunuhan
penduduk Tidung Galating oleh keponakannya, yaitu Bhre Paguhan putra Bhre
Tumapel.
Kertawijaya
wafat tahun 1451. Ia dicandikan di Kertawijayapura. Kedudukannya sebagai raja
digantikan Rajasawardhana
Hubungan
antara Rajasawardhana dengan Kertawijaya tidak disebut secara tegas dalam
Pararaton, sehingga muncul pendapat yang mengatakan kalau Rajasawardhana naik
takhta setelah membunuh Kertawijaya. Pendapat lain mengatakan Rajasawardhana
adalah putra Kertawijaya yang nama aslinya tercatat dalam prasasti Waringin
Pitu sebagai Dyah Wijayakumara. Identifikasi Kertawijaya dengan Brawijaya
Brawijaya adalah nama raja Majapahit versi naskah-naskah babad dan serat yang
sangat populer dalam masyarakat Jawa.
Dikisahkan
Brawijaya memiliki permaisuri bernama Ratu Dwarawati dari negeri Champa yang beragama
Islam. Brawijaya turun takhta tahun 1478 karena dikalahkan putranya dari selir,
yang bernama Raden Patah.
Di Mojokerto ditemukan situs makam
putri Campa yang diyakini sebagai istri Brawijaya.
Batu nisan makam tersebut berangka tahun 1448, jatuh pada masa pemerintahan
Kertawijaya.
Hal
ini menimbulkan pendapat bahwa, tokoh Brawijaya identik dengan Kertawijaya.
Bahkan, dalam bagan silsilah yang ditemukan pada pemakaman Ratu Kalinyamat di Jepara, ditulis nama
Kertawijaya sebagai nama ayah Raden Patah.
Tokoh
lain yang dianggap identik dengan Brawijaya adalah Bhre Kertabhumi putra
Rajasawardhana, yang namanya terdapat dalam penutupan naskah Pararaton.
Seringkali Bhre Kertabhumi disebut Brawijaya V, sedangkan Kertawijaya disebut
Brawijaya I.
Identifikasi
Kertawijaya dengan Brawijaya berdasarkan batu nisan putri Campa bertentangan
dengan prasasti Waringin Pitu (1447). Menurut prasasti tersebut, nama
permaisuri Kertawijaya bukan Ratu Dwarawati, melainkan Jayeswari.
Menurut kronik Cina dari kuil Sam Po
Kong, putri Campa yang dimakamkan di Mojokerto bukan istri raja Majapahit,
melainkan istri Ma Hong Fu, seorang duta besar Cina untuk Jawa
Prabu Stri Suhita adalah raja wanita
Majapahit yang memerintah tahun 1427-1447, bersama suaminya yang bernama Bhra
Hyang Parameswara Ratnapangkaja.
Silsilah
Bhatara Hyang Parameswara Menurut Pararaton, nama asli Parameswara adalah Aji
Ratnapangkaja. Ibunya bernama Surawardhani alias Bhre Kahuripan, adik
Wikramawardhana. Ayahnya bernama Raden Sumirat yang menjadi Bhre Pandansalas,
bergelar Ranamanggala.
Dalam
Nagarakretagama (ditulis 1365), Surawardhani masih menjabat Bhre Pawanuhan dan
belum menikah. Gelar Bhre Kahuripan saat itu masih dijabat neneknya, yaitu
Tribhuwana Tunggadewi. Menurut Pararaton, sepeninggal Tribhuwana Tunggadewi dan
Surawardhani, jabatan Bhre Kahuripan kemudian diwarisi Ratnapangkaja.
Ratnapangkaja
memiliki tiga saudara perempuan, yaitu Bhre Mataram, Bhre Lasem, dan Bhre
Matahun. Ketiganya masing-masing secara unik dinikahi oleh ayah, anak, dan
cucu, yaitu Wikramawardhana, Bhre Tumapel, dan Bhre Wengker.
Bhre
Wengker dari istri lain, memiliki putri Bhre Jagaraga dan Bhre Pajang, yang
keduanya dinikahi Ratnapangkaja. Silsilah ini semakin rumit ketika
Ratnapangkaja menikahi Suhita, putri Wikramawardhana.
Hubungan Suhita dengan Bhre Daha Pararaton tidak menyebut secara jelas nama ibu
Suhita. Silsilah Suhita muncul sebelum pemberitaan Perang Paregreg. Hal ini
menimbulkan kesan, seolah-olah Suhita sudah lahir dan menikah dengan
Ratnapangkaja sebelum perang terjadi.
Menurut
Pararaton, Ratnapangkaja bingung harus berpihak pada siapa ketika perang
meletus. Apabila ia sudah menikahi Suhita tentu ia akan langsung memihak
Wikramawardhana, mengingat Pararaton tidak secara tegas menyebutkan kalau ibu
Suhita adalah putri Bhre Wirabhumi.
Penulis
Pararaton memang sering mengabaikan urutan peristiwa secara kronologis.
Misalnya, pemberontakan Ranggalawe disebut terjadi tahun 1295, tapi baru diberitakan
setelah Jayanagara naik takhta (1309).
Seputar
pemberitaan Bhre Wirabhumi dijumpai adanya tiga tokoh yang menjabat Bhre Daha.
Yang pertama adalah ibu angkat Bhre Wirabhumi yang wafat sebelum perang
meletus. Bhre Daha yang kedua adalah yang diboyong Wikramawardhana setelah
perang Paregreg dan meninggal sebelum peristiwa bencana kelaparan terjadi tahun
1426. Sedangkan Bhre Daha yang ketiga naik takhta menggantikan Wikramawardhana
dan menghukum mati Raden Gajah (pembunuh Bhre Wirabhumi).
Bhre
Daha yang pertama dipastikan adalah Rajadewi putri bungsu Raden Wijaya. Menurut
Nagarakretagama, Bhre Wirabhumi dinikahkan dengan Nagarawardhani cucu Rajadewi.
Dari
perkawinan tersebut lahir seorang putri yang menjabat Bhre Daha sepeninggal
Rajadewi. Bhre Daha yang kedua inilah yang diboyong Wikramawardhana sebagai
selir setelah kekalahan Bhre Wirabhumi tahun 1406.
Dari
perkawinan tersebut, lahir Suhita sebagai Bhre Daha menggantikan ibunya yang
wafat menjelang bencana kelaparan 1426. Sepeninggal Wikramawardhana, Bhre Daha
alias Suhita naik takhta tahun 1427. Usianya saat itu dapat diperkirakan
sekitar 20 tahun.
[sunting]
Pemerintahan Suhita Suhita memerintah berdampingan dengan Ratnapangkaja
bergelar Bhatara Parameswara. Pada tahun 1433 Suhita membalas kematian Bhre
Wirabhumi dengan cara menghukum mati Raden Gajah alias Bhra Narapati. Dari
berita ini terasa masuk akal kalau hubungan Bhre Wirabhumi dan Suhita adalah
kakek dan cucu, meskipun tidak disebut secara tegas dalam Pararaton.
Nama
Suhita juga muncul dalam kronik Cina dari Kuil Sam Po Kong sebagai Su-king-ta,
yaitu raja Majapahit yang mengangkat Gan Eng Cu sebagai pemimpin masyarakat
Cina di Tuban dengan pangkat A-lu-ya. Tokoh Gan Eng Cu ini identik dengan Arya
Teja, kakek Sunan Kalijaga.
Pada
tahun 1437 Bhatara Parameswara Ratnapangkaja meninggal dunia. Sepuluh tahun
kemudian, yaitu tahun 1447 Suhita meninggal pula. Pasangan suami
Karena tidak memiliki putra mahkota,
Suhita digantikan adiknya, yaitu Dyah Kertawijaya, sebagai raja selanjutnya.
Silsilah Bhatara Hyang Parameswara
Menurut
Pararaton, nama asli Parameswara adalah Aji Ratnapangkaja. Ibunya bernama
Surawardhani alias Bhre Kahuripan, adik Wikramawardhana. Ayahnya bernama Raden
Sumirat yang menjadi Bhre Pandansalas, bergelar Ranamanggala.
Dalam
Nagarakretagama (ditulis 1365), Surawardhani masih menjabat Bhre Pawanuhan dan
belum menikah. Gelar Bhre Kahuripan saat itu masih dijabat neneknya, yaitu
Tribhuwana Tunggadewi. Menurut Pararaton, sepeninggal Tribhuwana Tunggadewi dan
Surawardhani, jabatan Bhre Kahuripan kemudian diwarisi Ratnapangkaja.
Ratnapangkaja
memiliki tiga saudara perempuan, yaitu Bhre Mataram, Bhre Lasem, dan Bhre
Matahun. Ketiganya masing-masing secara unik dinikahi oleh ayah, anak, dan
cucu, yaitu Wikramawardhana, Bhre Tumapel, dan Bhre Wengker.
Bhre Wengker dari istri lain,
memiliki putri Bhre Jagaraga dan Bhre Pajang, yang keduanya dinikahi
Ratnapangkaja. Silsilah ini semakin rumit ketika Ratnapangkaja menikahi Suhita,
putri Wikramawardhana.
Girishawardhana Dyah Suryawikrama adalah raja Majapahit yang memerintah tahun 1456-1466. Ia
dianggap identik dengan Bhra Hyang Purwawisesa dalam Pararaton.
Bhra
Hyang Purwawisesa dalam Pararaton Menurut Pararaton, Sepeninggal Rajasawardhana
tahun 1453 Majapahit dilanda kekosongan pemerintahan selama tiga tahun. Baru
pada tahun 1456, Bhre Wengker naik takhta bergelar Bhra Hyang Purwawisesa. Pada
tahun 1462 terjadi bencana gunung meletus mewarnai pemerintahannya.
Pada
tahun 1466 Hyang Purwawisesa meninggal dunia dan dicandikan di Puri. Ia digantikan
oleh Bhre Pandansalas sebagai raja selanjutnya.
Girisawardhana
Dyah Suryawikrama Tokoh Hyang Purwawisesa dianggap identik dengan
Girisawardhana Dyah Suryawikrama, raja Majapahit yang mengeluarkan prasasti
Sendang Sedur tahun 1463. Nama Dyah Suryawikrama sebelumnya juga muncul dalam
prasasti Waringin Pitu (1447), sebagai putra kedua Dyah Kertawijaya.
Jika
Rajasawardhana identik dengan Dyah Wijayakumara, kakak Suryawikrama. Maka,
kekosongan pemerintahan selama tiga tahun dapat diperkirakan terjadi karena
adanya perebutan takhta antara Suryawikrama melawan Samarawijaya putra sulung
Wijayakumara.
Prasasti Waringin Pitu juga
menyebutkan Samarawijaya adalah menantu Suryawikrama. Mungkin pada tahun 1456
persaingan antara keduanya berakhir setelah Samarawijaya merelakan takhta
Majapahit kepada Suryawikrama, yang tidak lain adalah paman sekaligus mertuanya
tersebut.
Dyah Suraprabhawa adalah raja
Majapahit yang memerintah tahun 1466-1474, bergelar Sri Adi Suraprabhawa
Singhawikramawardhana Giripati Pasutabhupati Ketubhuta. Tokoh ini identik
dengan Bhre Pandansalas dalam Pararaton yang naik takhta tahun 1466.
Bhre
Pandansalas dalam Pararaton Dalam Pararaton ditemukan beberapa orang yang
menjabat sebagai Bhre Pandansalas. Yang pertama adalah Raden Sumirat putra
Raden Sotor (saudara tiri Hayam Wuruk). Raden Sumirat bergelar Ranamanggala
menikah dengan Surawardhani adik Wikramawardhana. Dari perkawinan itu lahir
Ratnapangkaja, Bhre Mataram, Bhre Lasem, dan Bhre Matahun. Ratnapangkaja
kemudian kawin dengan Suhita (raja wanita Majapahit, 1427-1447).
Bhre
Pandansalas yang pertama tersebut setelah meninggal dicandikan di Sri Wisnupura
di Jinggan.
Bhre
Pandansalas yang lain diberitakan menjadi Bhre Tumapel, kemudian menjadi raja
Majapahit tahun 1466. Istrinya menjabat Bhre Singhapura, putri Bhre Paguhan,
putra Bhre Tumapel, putra Wikramawardhana.
Diberitakan
dalam Pararaton, setelah Bhre Pandansalas menjadi raja selama dua tahun,
kemudian pergi dari istana anak-anak Sang Sinagara, yaitu Bhre Kahuripan, Bhre
Mataram, Bhre Pamotan, dan yang bungsu Bhre Kertabhumi.
Kematian Suraprabhawa Dyah Suraprabhawa yang dianggap identik dengan Bhre
Pandansalas, tercatat namanya dalam prasasti Waringin Pitu (1447) sebagai putra
bungsu Dyah Kertawijaya. Istrinya bernama Rajasawardhanadewi Dyah Sripura yang identik
dengan Bhre Singhapura. Peninggalan sejarah Suraprabhawa setelah menjadi raja
berupa prasasti Pamintihan tahun 1473.
Pararaton
tidak menyebutkan dengan pasti kapan Bhre Pandansalas alias Suraprabhawa
meninggal. Ia hanya diberitakan meninggal di dalam keraton, dan merupakan paman
dari Bhre Kertabhumi.
Tahun
kematian Suraprabhawa kemudian ditemukan dalam prasasti Trailokyapuri yang
dikeluarkan oleh Girindrawardhana Dyah Ranawijaya. Menurut prasasti tersebut,
Suraprabhawa alias Singhawikramawardhana meninggal tahun 1474.
Girindrawardhana
yang menjadi raja Majapahit tahun 1486 mengaku sebagai putra
Singhawikramawardhana. Hal ini dapat diperkuat adanya unsur kata Giripati dalam
gelar abhiseka Singhawikramawardhana yang sama artinya dengan Girindra, yaitu
raja gunung.
Jadi,
pemerintahan Dyah Suraprabhawa Singhawikramawardhana berakhir tahun 1474 dan
digantikan oleh keponakannya, yaitu Bhre Kertabhumi putra Rajasawardhana, yang
sebelumnya pergi meninggalkan istana bersama ketiga kakaknya. Meskipun tidak
disebut dengan jelas dalam Pararaton, dapat dipastikan Bhre Kertabhumi
melakukan kudeta terhadap Dyah Suraprabhawa karena ia sebagai putra
Rajasawardhana, merasa lebih berhak atas takhta Majapahit dibanding pamannya
itu.
Pararaton memang tidak menyebut
dengan jelas kalau Bhre Kertabhumi adalah raja yang menggantikan Bhre
Pandansalas Dyah Suraprabhawa. Justru dalam kronik Cina dari Kuil Sam Po Kong,
diketahui kalau Kung-ta-bu-mi adalah raja Majapahit yang memerintah sampai
tahun 1478.
Asal-Usul Raden PatahTerdapat berbagai versi tentang asal-usul pendiri Kesultanan
Demak.
Menurut babad tanah Jawi, Raden Patah adalah putra Brawijaya raja terakhir Majapahit (versi babad) dari seorang selir Cina. Karena Ratu Dwarawati sang permaisuri yang berasal dari Campa merasa cemburu, Brawijaya terpaksa memberikan selir Cina kepada putra sulungnya, yaitu Arya Damar bupati Palembang. Setelah melahirkan Raden Patah, putri Cina dinikahi Arya Damar, melahirkan Raden Kusen.
Menurut Kronik China dari kuil Sam Pho Kong, nama asli Raden Patah adalah Jin Bun. putra Kung-ta-bu-mi (alias Bhre Kertabhumi) raja Majapahit (versi Pararaton) dari selir Cina. Kemudian selir Cina diberikan kepada seorang peranakan Cina bernama Swan Liong di Palembang. Dari perkawinan kedua itu lahir Kin San. Kronik Cina ini memberitakan tahun kelahiran Jin Bun adalah 1455. Mungkin Raden Patah lahir saat Bhre Kertabhumi belum menjadi raja (memerintah tahun 1474-1478).
Menurut Purwaka Caruban nagari, nama asli selir China adalah Siu Ban Ci, putri Tan Go Hwat dan Siu Te Yo dari Gresik. Tan Go Hwat merupakan seorang saudagar dan juga ulama bergelar Syaikh Bantong.
Menurut sejarah Banten, Pendiri Demak bernama Cu Cu, putra mantan perdana menteri Cina yang pindah ke Jawa. Cu Cu mengabdi ke Majapahit dan berjasa menumpas pemberontakan Arya Dilah bupati Palembang. Berita ini cukup aneh karena dalam Babad Tanah Jawi, Arya Dilah adalah nama lain Arya Damar, ayah angkat Raden Patah sendiri. Selanjutnya, atas jasa-jasanya, Cu Cu menjadi menantu raja Majapahit dan dijadikan bupati Demak bergelar Arya Sumangsang.
Menurut Suma oriental karya Yome Pires, pendiri Demak bernama Pate Rodin, cucu seorang masyarakat kelas rendah di Gresik.
Menurut babad tanah Jawi, Raden Patah adalah putra Brawijaya raja terakhir Majapahit (versi babad) dari seorang selir Cina. Karena Ratu Dwarawati sang permaisuri yang berasal dari Campa merasa cemburu, Brawijaya terpaksa memberikan selir Cina kepada putra sulungnya, yaitu Arya Damar bupati Palembang. Setelah melahirkan Raden Patah, putri Cina dinikahi Arya Damar, melahirkan Raden Kusen.
Menurut Kronik China dari kuil Sam Pho Kong, nama asli Raden Patah adalah Jin Bun. putra Kung-ta-bu-mi (alias Bhre Kertabhumi) raja Majapahit (versi Pararaton) dari selir Cina. Kemudian selir Cina diberikan kepada seorang peranakan Cina bernama Swan Liong di Palembang. Dari perkawinan kedua itu lahir Kin San. Kronik Cina ini memberitakan tahun kelahiran Jin Bun adalah 1455. Mungkin Raden Patah lahir saat Bhre Kertabhumi belum menjadi raja (memerintah tahun 1474-1478).
Menurut Purwaka Caruban nagari, nama asli selir China adalah Siu Ban Ci, putri Tan Go Hwat dan Siu Te Yo dari Gresik. Tan Go Hwat merupakan seorang saudagar dan juga ulama bergelar Syaikh Bantong.
Menurut sejarah Banten, Pendiri Demak bernama Cu Cu, putra mantan perdana menteri Cina yang pindah ke Jawa. Cu Cu mengabdi ke Majapahit dan berjasa menumpas pemberontakan Arya Dilah bupati Palembang. Berita ini cukup aneh karena dalam Babad Tanah Jawi, Arya Dilah adalah nama lain Arya Damar, ayah angkat Raden Patah sendiri. Selanjutnya, atas jasa-jasanya, Cu Cu menjadi menantu raja Majapahit dan dijadikan bupati Demak bergelar Arya Sumangsang.
Menurut Suma oriental karya Yome Pires, pendiri Demak bernama Pate Rodin, cucu seorang masyarakat kelas rendah di Gresik.
Meskipun
terdapat berbagai versi, namun terlihat kalau pendiri Kesultanan Demak memiliki
hubungan dengan Majapahit, Cina, Gresik, dan Palembang.
Raden
Patah Mendirikan Demak Babad
Tanah Jawi menyebutkan, Raden Patah menolak menggantikan Arya Damar menjadi
bupati Palembang. Ia kabur ke pulau Jawa ditemani Raden Kusen. Sesampainya di
Jawa, keduanya berguru pada Sunan Ampel di Surabaya. Raden Kusen kemudian
mengabdi ke Majapahit, sedangkan Raden Patah pindah ke Jawa Tengah membuka
hutan Glagahwangi menjadi sebuah pesantren.
Makin
lama Pesantren Glagahwangi semakin maju. Brawijaya di Majapahit khawatir
kalau Raden Patah berniat memberontak. Raden Kusen yang kala itu sudah diangkat
menjadi Adipati Terung diperintah untuk memanggil Raden Patah.
Raden
Kusen menghadapkan Raden Patah ke Majapahit. Brawijaya merasa terkesan dan
akhirnya mau mengakui Raden Patah sebagai putranya. Raden Patah pun diangkat
sebagai bupati, sedangkan Glagahwangi diganti nama menjadi Demak, dengan ibu
kota bernama Bintara.
Menurut
kronik Cina, Jin Bun pindah dari Surabaya ke Demak tahun 1475. Kemudian ia
menaklukkan Semarang tahun 1477 sebagai bawahan Demak. Hal itu membuat
Kung-ta-bu-mi di Majapahit resah. Namun, berkat bujukan Bong Swi Hoo (alias
Sunan Ampel), Kung-ta-bu-mi bersedia mengakui Jin Bun sebagai anak, dan
meresmikan kedudukannya sebagai bupati di Bing-to-lo.
Perang
Demak dan Majapahit Perang antara Demak dan Majapahit
diberitakan dalam naskah babad dan serat, terutama Babad Tanah Jawi dan Serat
Kanda. Dikisahkan, Sunan Ampel melarang Raden Patah memberontak pada Majapahit
karena meskipun berbeda agama, Brawijaya tetaplah ayah Raden Patah. Namun
sepeninggal Sunan Ampel, Raden Patah tetap menyerang Majapahit. Brawijaya moksa
dalam serangan itu. Untuk menetralisasi pengaruh agama lama, Sunan Giri
menduduki takhta Majapahit selama 40 hari.
Menurut kronik Cina dari Sam Po Kong juga memberitaka adanya perang antara Jin Bun melawan Kung-ta-bu-mi tahun 1478. Perang terjadi setelah kematian Bong Swi Hoo (alias Sunan Ampel). Jin Bun menggempur ibu kota Majapahit. Kung-ta-bu-mi alias Bhre Kertabhumi ditangkap dan dipindahkan ke Demak secara hormat. Sejak itu, Majapahit menjadi bawahan Demak dengan dipimpin seorang Cina muslim bernama Nyoo Lay Wa sebagai bupati.
Pada tahu 1485 Nyoo Lay Wa mati karena pemberontakan kaum pribumi. Maka, Jin Bun mengangkat seorang pribumi sebagai bupati baru bernama Pa-bu-ta-la, yang juga menantu Kung-ta-bu-mi.
Menurut kronik Cina dari Sam Po Kong juga memberitaka adanya perang antara Jin Bun melawan Kung-ta-bu-mi tahun 1478. Perang terjadi setelah kematian Bong Swi Hoo (alias Sunan Ampel). Jin Bun menggempur ibu kota Majapahit. Kung-ta-bu-mi alias Bhre Kertabhumi ditangkap dan dipindahkan ke Demak secara hormat. Sejak itu, Majapahit menjadi bawahan Demak dengan dipimpin seorang Cina muslim bernama Nyoo Lay Wa sebagai bupati.
Pada tahu 1485 Nyoo Lay Wa mati karena pemberontakan kaum pribumi. Maka, Jin Bun mengangkat seorang pribumi sebagai bupati baru bernama Pa-bu-ta-la, yang juga menantu Kung-ta-bu-mi.
Tokoh
Pa-bu-ta-la ini identik dengan Prabu Natha Girindrawardhana alias Dyah
Ranawijaya yang menerbitkan prasasti Jiyu tahun 1486 dan mengaku sebagai
penguasa Majapahit, Janggala, dan Kadiri.
Selain
itu, Dyah Ranawijaya juga mengeluarkan prasasti Petak yang berkisah tentang
perang melawan Majapahit. Berita ini melahirkan pendapat kalau Majapahit runtuh
tahun 1478 bukan karena serangan Demak, melainkan karena serangan keluarga
Girindrawardhana.
Pemerintahan
Raden Patah Apakah Raden Patah pernah menyerang
Majapahit atau tidak, yang jelas ia adalah raja pertama Kesultanan Demak.
Menurut Babad Tanah Jawi, ia bergelar Senapati Jimbun Ningrat Ngabdurahman
Panembahan Palembang Sayidin Panatagama, sedangkan menurut Serat Pranitiradya,
bergelar Sultan Syah Alam Akbar, dan dalam Hikayat Banjar disebut Sultan Surya
Alam.
Nama
Patah sendiri berasal dari kata al-Fatah, yang artinya "Sang
Pembuka", karena ia memang pembuka kerajaan Islam pertama di pulau Jawa.
[[Pada
tahun 1479 ia meresmikan Masjid Agung Demak]] sebagi pusat pemerintahan. Ia
juga memperkenalkan pemakaian Salokantara sebagai kitab undang-undang kerajaan.
Kepada umat beragama lain, sikap Raden Patah sangat toleran. Kuil Sam Po Kong
di Semarang tidak dipaksa kembali menjadi masjid, sebagaimana dulu saat
didirikan oleh Laksamana Cheng Ho yang beragama Islam.
Raden Patah juga tidak memerangai agama Hindu dan Budha sebagimana wasiat gurunya. Meskipun naskah babad dan serat memberitakan ia menyerang Majapahit, hal itu dilatarbelakangi persaingan politik memperebutkan kekuasaan pulau Jawa, bukan karena sentimen agama. Lagi pula, naskah babad dan serat juga memberitakan kalau pihak Majapahit lebih dulu menyerang Giri Kedaton, sekutu Demak di Gresik.
Raden Patah juga tidak memerangai agama Hindu dan Budha sebagimana wasiat gurunya. Meskipun naskah babad dan serat memberitakan ia menyerang Majapahit, hal itu dilatarbelakangi persaingan politik memperebutkan kekuasaan pulau Jawa, bukan karena sentimen agama. Lagi pula, naskah babad dan serat juga memberitakan kalau pihak Majapahit lebih dulu menyerang Giri Kedaton, sekutu Demak di Gresik.
Tome
Pires dalam Suma Oriental memberitakan pada tahun 1507 Pate Rodin alias Raden
Patah meresmikan Masjid Agung Demak yang baru diperbaiki. Lalu pada tahun 1512
menantunya yang bernama Pate Unus bupati Jepara menyerang Portugis di Malaka.
Tokoh
Pate Unus ini identik dengan Yat Sun dalam kronik Cina yang diberitakan
menyerang bangsa asing di Moa-lok-sa tahun 1512. Perbedaannya ialah, Pate Unus
adalah menantu Pate Rodin, sedangkan Yat Sun adalah putra Jin Bun. Kedua
berita, baik dari sumber Portugis ataupun sumber Cina, sama-sama menyebutkan
armada Demak hancur dalam pertempuran ini.
Menurut
kronik Cina, Jin Bun alias Raden Patah meninggal dunia tahun 1518 dalam usia 63
tahun. Ia digantikan Yat Sun sebagai raja selanjutnya, yang dalam Babad Tanah
Jawi bergelar Pangeran Sabrang Lor. Keturunan Raden Patah Menurut naskah babad
dan serat, Raden Patah memiliki tiga orang isstri. Yang pertama adalah putri Sunan Ampel, menjadi permaisuri utama, melahirkan Raden Surya
dan Raden Trenggana, yang masing-masing secara berurutan kemudian naik
takhta, bergelar Pangeran Sabrang Lor dan Sultan Trenggana.
Istri kedua seorang putri dari Randu Sanga, melahirkan Raden Kanduruwan. Raden Kanduruwan ini pada pemerintahan Sultan Trenggana berjasa menaklukkan Sumenep.
Istri yang ketiga adalah putri Bupati Jipang, melahirkan Raden Kikin dan Ratu Mas Nyawa. Ketika Pangeran Sabrang Lor meninggal tahun 1521, Raden Kikin dan Raden Trenggana bersaing memperebutkan takhta. Raden Kikin akhirnya mati dibunuh putra sulung Raden Trenggana yang bernama Raden Mukmin alias Sunan Prawata, di tepi sungai. Oleh karena itu, Raden Kikin pun dijuluki Pangeran Sekar Seda ing Lepen, artinya bunga yang gugur di sungai.
Istri kedua seorang putri dari Randu Sanga, melahirkan Raden Kanduruwan. Raden Kanduruwan ini pada pemerintahan Sultan Trenggana berjasa menaklukkan Sumenep.
Istri yang ketiga adalah putri Bupati Jipang, melahirkan Raden Kikin dan Ratu Mas Nyawa. Ketika Pangeran Sabrang Lor meninggal tahun 1521, Raden Kikin dan Raden Trenggana bersaing memperebutkan takhta. Raden Kikin akhirnya mati dibunuh putra sulung Raden Trenggana yang bernama Raden Mukmin alias Sunan Prawata, di tepi sungai. Oleh karena itu, Raden Kikin pun dijuluki Pangeran Sekar Seda ing Lepen, artinya bunga yang gugur di sungai.
Kronik
Cina hanya menyebutkan dua orang putra Jin Bun saja, yaitu Yat Sun dan
Tung-ka-lo, yang masing-masing identik dengan Pangeran Sabrang Lor dan Sultan
Trenggana.
Suma Oriental menyebut Pate Rodin
memiliki putra yang juga bernama Pate Rodin, dan menantu bernama Pate Unus.
Berita versi Portugis ini menyebut Pate Rodin Yunior lebih tua usianya dari
pada Pate Unus. Dengan kata lain Sultan Trenggana disebut sebagai kakak ipar
Pangeran Sabrang Lor.
Prabhu Natha Girindrawardhana Dyah Ranawijaya
adalah raja Kerajaan Majapahit yang memerintah sekitar tahun 1486. Tidak
diketahui dengan pasti kapan ia naik takhta dan kapan pemerintahannya berakhir.
Pendapat umum menyebutkan, ia sering dianggap sebagai raja terakhir Majapahit
yang dikalahkan oleh Kesultanan Demak pada tahun 1527.
Silsilah
Ranawijaya Girindrawardhana Dyah Ranawijaya diperkirakan sebagai putra
Suraprabawa Sang Singawikramawardhana, raja Kerajaan Majapahit yang memerintah
pada tahun 1466-1474. Dugaan tersebut berdasarkan atas gelar abhiseka yang
dipakai oleh Ranawijaya dan Suraprabhawa yang masing-masing mengandung kata
Girindra dan Giripati. Kedua kata tersebut memiliki makna yang sama, yaitu
"raja gunung".
Pada
tahun 1486 Ranawijaya mengeluarkan prasasti Jiyu tentang pengesahan anugerah
kepada Sri Brahmaraja Ganggadhara berupa tanah Trailokyapuri. Pengesahan ini
dilakukan bersamaan dengan upacara Sraddha untuk memperingati 12 tahun
meninggalnya Bhatara Mokteng Dahanapura, atau "Baginda yang meninggal di
Daha". Tokoh ini diyakini para sejarawan sebagai orang tua Ranawijaya.
Suraprabhawa
dalam Pararaton disebut dengan nama Bhre Pandansalas yang pada tahun 1468
melarikan diri setelah dikalahkan oleh Bhre Kertabumi dan ketiga kakaknya. Jika
berita tersebut dipadukan dengan naskah prasasti Jiyu, maka dapat diperoleh
gambaran bahwa Suraprabawa kemudian tinggal di Daha setelah terusir dari
Majapahit.
Setelah
meninggal, Suraprabawa disebut dengan gelar anumerta Bhatara Mokteng
Dahanapura. Hasil penyelidikan prasasti Jiyu menemukan tahun kematiannya adalah
1474. Dengan demikian, Dyah Ranawijaya diperkirakan naik tahta juga pada tahun
1474 tersebut.
Prasasti
Jiyu menyebut gelar Dyah Ranawijaya adalah Sri Wilwatikta Jenggala Kediri, yang
artinya penguasa Majapahit, Jenggala, dan Kediri. Ini membuktikan bahwa pada
tahun 1486 tersebut kekuasaan Bhre Kertabhumi di Majapahit telah jatuh pula ke
tangan Ranawijaya.
Dalam
prasasti Jiyu juga ditemukan adanya nama Bhre Keling Girindrawardhana Dyah
Wijayakusuma yang diperkirakan sebagai saudara Dyah Ranawijaya.
Identifikasi
dengan Brawijaya Brawijaya adalah nama raja terakhir Kerajaan Majapahit versi
naskah-naskah babad dan serat, misalnya Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda. Nama
ini sangat populer dalam masyarakat Jawa namun tidak memiliki bukti sejarah
yang kuat, misalnya prasasti.
Oleh
karena itu perlu diselidiki dari mana asalnya para pengarang babad dan serat
memperoleh nama tersebut. Nama Brawijaya diyakini berasal dari kata Bhra
Wijaya, yang merupakan singkatan dari Bhatara Wijaya.
Menurut
Suma Oriental tulisan Tome Pires, pada tahun 1513 ada seorang raja bernama
Batara Vigiaya yang bertakhta di Dayo, namun pemerintahannya dikendalikan oleh
Pate Amdura. Batara Vigiaya merupakan ejaan Portugis untuk Bhatara Wijaya,
sedangkan Dayo bermakna Daha. Dari prasasti Jiyu diketahui bahwa Daha
diperintah oleh Dyah Ranawijaya pada tahun 1486. Dengan kata lain, Brawijaya
alias Bhatara Wijaya adalah nama lain dari Dyah Ranawijaya.
Identifikasi
Brawijaya raja terakhir Majapahit dengan Ranawijaya cukup masuk akal, karena
Ranawijaya juga diduga sebagai raja Majapahit. Kerajaan Dayo adalah ejaan
Portugis untuk Daha, yang saat itu menjadi ibu kota Majapahit. Menurut Babad
Sengkala pada tahun 1527 Daha akhirnya dikalahkan oleh Kesultanan Demak.
Ingatan
masyarakat Jawa tentang kekalahan Majapahit yang berpusat di Daha tahun 1527
bercampur dengan peristiwa runtuhnya Majapahit yang berpusat di Mojokerto tahun
1478. Akibatnya, Bhra Wijaya yang merupakan raja terakhir tahun 1527 oleh para
penulis babad “ditempatkan” sebagai Brawijaya yang pemerintahannya berakhir
tahun 1478.
Akibatnya
pula, tokoh Brawijaya pun sering disamakan dengan Bhre Kertabhumi, yaitu raja
Majapahit yang memerintah pada tahun 1474-1478. Padahal, tidak ada bukti
sejarah yang menyebut bahwa Bhre Kertabhumi juga bergelar Brawijaya.
Lebih
lanjut tentang identifikasi Brawijaya, bisa dilihat dalam artikel Bhre
Kertabhumi dan Kertawijaya.
Pengangkatan
Ranawijaya menurut Kronik Cina Pemerintahan Bhre Kertabhumi tidak meninggalkan
bukti prasasti, juga tidak diceritakan secara tegas dalam Pararaton. Justru
dalam kronik Cina dari Kuil Sam Po Kong ditemukan adanya raja Majapahit bernama
Kung-ta-bu-mi.
Pada
tahun 1478 Kung-ta-bu-mi dikalahkan putranya sendiri bernama Jin Bun, yang
lahir dari selir Cina. Jin Bun ini identik dengan Panembahan Jimbun alias Raden
Patah pendiri Kesultanan Demak. Setelah itu, Majapahit menjadi bawahan Demak.
Jin Bun mengangkat seorang Cina muslim sebagai bupati bernama Nyoo Lay Wa.
Pada
tahun 1486 Nyoo Lay Wa mati akibat unjuk rasa kaum pribumi. Maka, Jin Bun pun
mengangkat bupati baru di Majapahit, seorang pribumi bernama Pa-bu-ta-la yang
juga menantu Kung-ta-bu-mi.
Tokoh
Pa-bu-ta-la ini identik dengan Prabhu Natha Girindrawardhana alias Dyah
Ranawijaya yang mengeluarkan prasasti Jiyu tahun 1486. Tidak diketahui dengan
pasti dari mana sumber sejarah yang digunakan oleh penulis kronik Cina
tersebut.
Hubungan
Ranawijaya dengan Bhre Kertabhumi Menurut kronik Cina di atas, Ranawijaya
adalah menantu Bhre Kertabhumi yang diangkat oleh Raden Patah sebagai raja
bawahan Demak.
Pendapat lain mengatakan, Ranawijaya
menjadi raja Majapahit atas usahanya sendiri, yaitu dengan cara mengalahkan
Bhre Kertabhumi tahun 1478, demi membalas kekalahan ayahnya, yaitu
Suraprabhawa. Pendapat ini diperkuat oleh prasasti Petak yang menyebutkan kalau
keluarga Girindrawardhana pernah berperang melawan Majapahit.
Nama
Arya Damar ditemukan dalam Kidung Pamacangah dan Usana Bali sebagai penguasa
bawahan di Palembang yang membantu Majapahit menaklukkan Bali pada tahun 1343.
Dikisahkan, Arya Damar memimpin 15.000 prajurit menyerang Bali dari arah utara,
sedangkan Gajah Mada menyerang dari selatan dengan jumlah prajurit yang sama.
Pasukan
Arya Damar berhasil menaklukkan Ularan yang terletak di pantai utara Bali.
Pemimpin Ularan yang bernama Pasung Giri akhirnya menyerah setelah bertempur
selama dua hari. Arya Damar yang kehilangan banyak prajurit melampiaskan
kemarahannya dengan cara membunuh Pasung Giri.
Arya
Damar kembali ke Majapahit untuk melaporkan kemenangan di Ularan. Pemerintah
pusat yang saat itu dipimpin Tribhuwana Tunggadewi marah atas kelancangannya,
yaitu membunuh musuh yang sudah menyerah. Arya Damar pun dikirim kembali ke
medan perang untuk menebus kesalahannya.
Arya
Damar tiba di Bali bergabung dengan Gajah Mada yang bersiap menyerang Tawing.
Sempat terjadi kesalahpahaman di mana Arya Damar menyerbu lebih dulu sebelum
datangnya perintah. Namun keduanya akhirnya berdamai sehingga pertahanan
terakhir Bali pun dapat dihancurkan.
Seluruh
Pulau Bali akhirnya jatuh ke dalam kekuasaan Majapahit setelah pertempuran
panjang selama tujuh bulan. Pemerintahan Bali kemudian dipegang oleh adik-adik
Arya Damar, yaitu Arya Kenceng, Arya Kutawandira, Arya Sentong, dan Arya Belog.
Sementara itu, Arya Damar sendiri kembali ke daerah kekuasaannya di Palembang.
Arya Kenceng memimpin
saudara-saudaranya sebagai penguasa Bali bawahan Majapahit. Ia dianggap sebagai
leluhur raja-raja Tabanan dan Badung. gelar: Arya Kutawandira dibawah
pimpinan saudaranya Arya Kenceng dalam pemerintahan penguasa Bali yang menjadi
bawahan Majapahit. Ia dianggap sebagai leluhur raja-raja Tabanan dan Badung.
Penaklukan Bali
Nama
Arya Damar ditemukan dalam Kidung Pamacangah dan Usana Bali sebagai penguasa
bawahan di Palembang yang membantu Majapahit menaklukkan Bali pada tahun 1343.
Dikisahkan, Arya Damar memimpin 15.000 prajurit menyerang Bali dari arah utara,
sedangkan Gajah Mada menyerang dari selatan dengan jumlah prajurit yang sama.
Pasukan
Arya Damar berhasil menaklukkan Ularan yang terletak di pantai utara Bali.
Pemimpin Ularan yang bernama Pasung Giri akhirnya menyerah setelah bertempur
selama dua hari. Arya Damar yang kehilangan banyak prajurit melampiaskan
kemarahannya dengan cara membunuh Pasung Giri.
Arya
Damar kembali ke Majapahit untuk melaporkan kemenangan di Ularan. Pemerintah
pusat yang saat itu dipimpin Tribhuwana Tunggadewi marah atas kelancangannya,
yaitu membunuh musuh yang sudah menyerah. Arya Damar pun dikirim kembali ke
medan perang untuk menebus kesalahannya.
Arya
Damar tiba di Bali bergabung dengan Gajah Mada yang bersiap menyerang Tawing.
Sempat terjadi kesalahpahaman di mana Arya Damar menyerbu lebih dulu sebelum
datangnya perintah. Namun keduanya akhirnya berdamai sehingga pertahanan
terakhir Bali pun dapat dihancurkan.
Seluruh
Pulau Bali akhirnya jatuh ke dalam kekuasaan Majapahit setelah pertempuran
panjang selama tujuh bulan. Pemerintahan Bali kemudian dipegang oleh adik-adik
Arya Damar, yaitu Arya Kenceng, Arya Kutawandira, Arya Sentong, dan Arya Belog.
Sementara itu, Arya Damar sendiri kembali ke daerah kekuasaannya di Palembang.
Arya
Kenceng memimpin saudara-saudaranya sebagai penguasa Bali bawahan Majapahit. Ia
dianggap sebagai leluhur raja-raja Tabanan dan Badung.
[sunting]
Identifikasi dengan Adityawarman Sejarawan Prof. Berg menganggap Arya Damar
identik dengan Adityawarman, yaitu penguasa Pulau Sumatra bawahan Majapahit.
Nama Adityawarman ditemukan dalam beberapa prasasti yang berangka tahun 1343
dan 1347 sehingga jelas kalau ia hidup sezaman dengan Arya Damar.
Menurut
Berg, Arya Damar adalah penguasa Sumatra, Adityawarman juga penguasa Sumatra.
Karena keduanya hidup pada zaman yang sama, maka cukup masuk akal apabila kedua
tokoh ini dianggap identik. Di samping itu, karena Adityawarman adalah putra
Dara Jingga, maka Arya Damar dan adik-adiknya juga dianggap sebagai anak-anak
putri Melayu tersebut.
Namun
demikian, daerah yang dipimpin Adityawarman bukan Palembang, melainkan
Pagaruyung, sedangkan kedua negeri tersebut terletak berjauhan. Palembang
sekarang masuk wilayah Sumatra Selatan, sedangkan Pagaruyung berada di Sumatra
Barat.
Sementara
itu, berita Cina dari Dinasti Ming (1368-1644) menyebutkan bahwa di Pulau
Sumatra terdapat tiga kerajaan dan semuanya adalah bawahan Pulau Jawa
(Majapahit). Tiga kerajaan tersebut adalah Palembang, Dharmasraya, dan
Pagaruyung.
Dengan
demikian, Arya Damar bukan satu-satunya raja di Pulau Sumatra, begitu pula
dengan Adityawarman. Oleh karena itu, Arya Damar tidak harus identik dengan
Adityawarman.
Jadi, meskipun Arya Damar dan
Adityawarman hidup pada zaman yang sama, serta memiliki jabatan yang sama pula,
namun keduanya belum tentu identik. Arya Damar adalah raja Palembang sedangkan
Adityawarman adalah raja Pagaruyung. Keduanya merupakan wakil Kerajaan
Majapahit di Pulau Sumatra
gelar: Arya Sentong dibawah
pimpinan saudaranya Arya Kenceng dalam pemerintahan penguasa Bali yang menjadi
bawahan Majapahit. Arya Sentong dianggap sebagai leluhur Tabanan dan Badung.
Penaklukan Bali
Nama
Arya Damar ditemukan dalam Kidung Pamacangah dan Usana Bali sebagai penguasa
bawahan di Palembang yang membantu Majapahit menaklukkan Bali pada tahun 1343.
Dikisahkan, Arya Damar memimpin 15.000 prajurit menyerang Bali dari arah utara,
sedangkan Gajah Mada menyerang dari selatan dengan jumlah prajurit yang sama.
Pasukan
Arya Damar berhasil menaklukkan Ularan yang terletak di pantai utara Bali.
Pemimpin Ularan yang bernama Pasung Giri akhirnya menyerah setelah bertempur
selama dua hari. Arya Damar yang kehilangan banyak prajurit melampiaskan
kemarahannya dengan cara membunuh Pasung Giri.
Arya
Damar kembali ke Majapahit untuk melaporkan kemenangan di Ularan. Pemerintah
pusat yang saat itu dipimpin Tribhuwana Tunggadewi marah atas kelancangannya,
yaitu membunuh musuh yang sudah menyerah. Arya Damar pun dikirim kembali ke
medan perang untuk menebus kesalahannya.
Arya
Damar tiba di Bali bergabung dengan Gajah Mada yang bersiap menyerang Tawing.
Sempat terjadi kesalahpahaman di mana Arya Damar menyerbu lebih dulu sebelum
datangnya perintah. Namun keduanya akhirnya berdamai sehingga pertahanan
terakhir Bali pun dapat dihancurkan.
Seluruh
Pulau Bali akhirnya jatuh ke dalam kekuasaan Majapahit setelah pertempuran
panjang selama tujuh bulan. Pemerintahan Bali kemudian dipegang oleh adik-adik
Arya Damar, yaitu Arya Kenceng, Arya Kutawandira, Arya Sentong, dan Arya Belog.
Sementara itu, Arya Damar sendiri kembali ke daerah kekuasaannya di Palembang.
Arya Kenceng memimpin
saudara-saudaranya sebagai penguasa Bali bawahan Majapahit. Ia dianggap sebagai
leluhur raja-raja Tabanan dan Badung.
gelar: Arya Belog dibawah
pimpinan saudaranya Arya Kenceng dalam pemerintahan penguasa Bali yang menjadi
bawahan Majapahit. Arya Belog dianggap sebagai leluhur Tabanan dan Badung.
Penaklukan Bali
Nama
Arya Damar ditemukan dalam Kidung Pamacangah dan Usana Bali sebagai penguasa
bawahan di Palembang yang membantu Majapahit menaklukkan Bali pada tahun 1343.
Dikisahkan, Arya Damar memimpin 15.000 prajurit menyerang Bali dari arah utara,
sedangkan Gajah Mada menyerang dari selatan dengan jumlah prajurit yang sama.
Pasukan
Arya Damar berhasil menaklukkan Ularan yang terletak di pantai utara Bali.
Pemimpin Ularan yang bernama Pasung Giri akhirnya menyerah setelah bertempur
selama dua hari. Arya Damar yang kehilangan banyak prajurit melampiaskan
kemarahannya dengan cara membunuh Pasung Giri.
Arya
Damar kembali ke Majapahit untuk melaporkan kemenangan di Ularan. Pemerintah
pusat yang saat itu dipimpin Tribhuwana Tunggadewi marah atas kelancangannya,
yaitu membunuh musuh yang sudah menyerah. Arya Damar pun dikirim kembali ke
medan perang untuk menebus kesalahannya.
Arya
Damar tiba di Bali bergabung dengan Gajah Mada yang bersiap menyerang Tawing.
Sempat terjadi kesalahpahaman di mana Arya Damar menyerbu lebih dulu sebelum
datangnya perintah. Namun keduanya akhirnya berdamai sehingga pertahanan
terakhir Bali pun dapat dihancurkan.
Seluruh
Pulau Bali akhirnya jatuh ke dalam kekuasaan Majapahit setelah pertempuran
panjang selama tujuh bulan. Pemerintahan Bali kemudian dipegang oleh adik-adik
Arya Damar, yaitu Arya Kenceng, Arya Kutawandira, Arya Sentong, dan Arya Belog.
Sementara itu, Arya Damar sendiri kembali ke daerah kekuasaannya di Palembang.
Arya Kenceng memimpin
saudara-saudaranya sebagai penguasa Bali bawahan Majapahit. Ia dianggap sebagai
leluhur raja-raja Tabanan dan Badung.
Arya Damar
Arya Damar adalah pahlawan
legendaris sehingga nama besarnya selalu diingat oleh masyarakat Jawa. Dalam
naskah-naskah babad dan serat, misalnya Babad Tanah Jawi, tokoh Arya Damar
disebut sebagai ayah tiri Raden Patah, raja pertama Kesultanan Demak.
Dikisahkan ada seorang raksasa
wanita ingin menjadi istri Brawijaya raja terakhir Majapahit (versi babad). Ia
pun mengubah wujud menjadi gadis cantik bernama Endang Sasmintapura, dan segera
ditemukan oleh patih Majapahit (yang juga bernama Gajah Mada) di dalam pasar
kota. Sasmintapura pun dipersembahkan kepada Brawijaya untuk dijadikan istri.
Namun, ketika sedang mengandung,
Sasmintapura kembali ke wujud raksasa karena makan daging mentah. Ia pun diusir
oleh Brawijaya sehingga melahirkan bayinya di tengah hutan. Putra sulung
Brawijaya itu diberi nama Jaka Dilah.
Setelah dewasa Jaka Dilah mengabdi
ke Majapahit. Ketika Brawijaya ingin berburu, Jaka Dilah pun mendatangkan semua
binatang hutan di halaman istana. Brawijaya sangat gembira melihatnya dan
akhirnya sudi mengakui Jaka Dilah sebagai putranya.
Jaka Dilah kemudian diangkat sebagai
bupati Palembang bergelar Arya Damar. Sementara itu Brawijaya telah menceraikan
seorang selirnya yang berdarah Cina karena permaisurinya yang bernama Ratu
Dwarawati (putri Campa) merasa cemburu. Putri Cina itu diserahkan kepada Arya
Damar untuk dijadikan istri.
Arya Damar membawa putri Cina ke
Palembang. Wanita itu melahirkan putra Brawijaya yang diberi nama Raden Patah.
Kemudian dari pernikahan dengan Arya Damar, lahir Raden Kusen. Dengan demikian
terciptalah suatu silsilah yang rumit antara Arya Damar, Raden Patah, dan Raden
Kusen.
Setelah dewasa, Raden Patah dan
Raden Kusen meninggalkan Palembang menuju Jawa. Raden Patah akhirnya menjadi
raja pertama Kesultanan Demak, dengan bergelar Panembahan Jimbun.
Seputar Tokoh Swan Liong Kisah hidup
Raden Patah juga tercatat dalam kronik Cina dari Kuil Sam Po Kong Semarang.
Dalam naskah itu, Raden Patah disebut dengan nama Jin Bun, sedangkan ayah
tirinya bukan bernama Arya Damar, melainkan bernama Swan Liong.
Swan Liong adalah putra raja
Majapahit bernama Yang-wi-si-sa yang lahir dari seorang selir Cina. Mungkin
Yang-wi-si-sa sama dengan Hyang Wisesa atau mungkin Hyang Purwawisesa. Kedua
nama ini ditemukan dalam naskah Pararaton.
Swan Liong bekerja sebagai kepala
pabrik bahan peledak di Semarang. Pada tahun 1443 ia diangkat menjadi kapten
Cina di Palembang oleh Gan Eng Cu, kapten Cina di Jawa.
Swan Liong di Palembang memiliki
asisten bernama Bong Swi Hoo. Pada tahun 1445 Bong Swi Hoo pindah ke Jawa dan
menjadi menantu Gan Eng Cu. Pada tahun 1451 Bong Swi Hoo mendirikan pusat
perguruan agama Islam di Surabaya, dan ia pun terkenal dengan sebutan Sunan
Ampel.
Swan Liong di Palembang memiliki
istri seorang bekas selir Kung-ta-bu-mi raja Majapahit. Mungkin Kung-ta-bu-mi
adalah ejaan Cina untuk Bhre Kertabhumi. Dari wanita itu lahir dua orang putra
bernama Jin Bun dan Kin San.
Pada tahun 1474 Jin Bun dan Kin San
pindah ke Jawa untuk berguru kepada Bong Swi Hoo alias Sunan Ampel. Tahun
berikutnya, Jin Bun mendirikan kota Demak sedangkan Kin San mengabdi kepada
Kung-ta-bu-mi di Majapahit.
Tidak diketahui dengan pasti sumber
mana yang digunakan oleh pengarang kronik Cina dari Kuil Sam Po Kong di atas.
Kemungkinan besar si pengarang pernah membaca Pararaton sehingga nama-nama raja
Majapahit yang ia sebutkan mirip dengan nama-nama raja dalam naskah dari Bali
tersebut. Misalnya, si pengarang kronik tidak menggunakan nama Brawijaya yang
lazim digunakan dalam naskah-naskah babad.
Jika dibandingkan dengan Babad Tanah
Jawi, isi naskah kronik Cina Sam Po Kong terkesan lebih masuk akal. Misalnya,
ibu Arya Damar adalah seorang raksasa, sedangkan ibu Swan Liong adalah manusia
biasa. Ayah Arya Damar sama dengan ayah Raden Patah, sedangkan ayah Swan Liong
dan Jin Bun berbeda.
Arya Dilah dari Palembang
Lain lagi dengan naskah dari Jawa Barat, misalnya Hikayat Hasanuddin atau
Sejarah Banten. Naskah-naskah tersebut menggabungkan nama Arya Damar dengan
Jaka Dilah menjadi Arya Dilah, yang juga menjabat sebagai bupati Palembang.
Selain itu, nama Arya Dilah juga diduga berasal dari nama Arya Abdilah.
Dikisahkan ada seorang perdana
menteri dari Munggul bernama Cek Ko Po yang mengabdi ke Majapahit. Putranya
yang bernama Cu Cu berhasil memadamkan pemberontakan Arya Dilah bupati
Palembang. Raja Majapahit sangat gembira dan mengangkat Cu Cu sebagai bupati
Demak, bergelar Molana Arya Sumangsang.
Dengan demikian, Arya Sumangsang
berhasil menjadi pemimpin Demak setelah mengalahkan Arya Dilah. Kisah dari Jawa
Barat ini cukup unik karena pada umumnya, raja Demak disebut sebagai anak tiri
bupati Palembang.
Sementara itu, berita tentang
pemberontakan Palembang ternyata benar-benar terjadi. Kronik Cina dari Dinasti
Ming mencatat bahwa pada tahun 1377 tentara Majapahit berhasil menumpas
pemberontakan Palembang.
Rupanya pengarang naskah di atas
pernah mendengar berita pemberontakan Palembang terhadap Majapahit. Namun ia
tidak mengetahui secara pasti bagaimana peristiwa itu terjadi. Pemberontakan
Palembang dan berdirinya Demak dikisahkannya sebagai satu rangkaian, padahal
sesungguhnya, kedua peristiwa tersebut berselang lebih dari 100 tahun. (wikipedia)
No comments:
Post a Comment