Terimakasih atas kunjungan anda
Endang Dharma Ayu, Perempuan Berselubung Misteri
Endang
Darma Ayu dikenal masyarakat Indramayu sebagai perempuan yang berjasa
melahirkan daerah Indramayu. Konon dari nama Dharma Ayu, kemudian menjadi
Dharmayu, Dermayu, lidah Belanda menyebutnya in-Dermayu, dan akhirnya
Indramayu. Hingga kini masyarakat dan Pemerintah Kabupaten Indramayu memberikan
apresiasi yang dalam. Terbukti penghargaan diabadikan pada beberapa nama gedung
atau kelompok, seperti GOR “Dharma Ayu”, Apotik ”Darma Ayu” milik Pemkab,
Aula “Nyi Mas Endang Dharma Ayu” di lingkungan Universitas Wiralodra,
grup seni tarling “Endang Dharma”, yang juga menokohkan seorang pesinden
perempuan, Ny. Dadang Darniyah.
Ketokohannya
disebut dalam historiografi tradisional, Babad Dermayu, sebagai sosok yang
penuh dengan nuansa militer, perang, dan keperkasaan. Sebuah deskripsi yang
menempatkan Endang Dharma sebagai sosok yang mirip Cut Nya’ Dien, pahlawan
perang dari Aceh. Bukan Kartini atau Dewi Sartika, yang lekat sebagai pemikir
sekaligus pejuang pendidikan.
Buku Sejarah
Indramayu susunan mantan bupati H.A. Dasuki (1977) yang kemudian dijadikan
pegangan yang ditetapkan Pemerintah Kabupaten Indramayu, menuliskan sosoknya
seperti mendua. Satu sisi mencebrukan diri ke sungai Cimanuk, tetapi di sisi
lain menikah dengan Wiralodra di Pegaden. Buku Dwitunggal Pendiri Dharma Ayu
Nagari tulisan H.R. Sutadji K.S. (2003) secara tegas menyebutnya sebagai
mata-mata Kerajaan Cirebon dalam operasi militer mencuri patung sarpa
kandaga dari Kerajaan Galuh Kaler Nagari dalam rangka syiar Islam.
Peran
perempuan dalam historiografi tradisional babad Dermayu kurang mendapat
tempat yang seimbang. Silsilah Wiralodra dari pertama hingga ke-7 hanya
menonjolkan sosok Wiralodra yang nota bene laki-laki dan seorang suami,
tetapi sosok istri kurang diketahui jatidirinya. Yang jelas, kemudian diketahui
menurunkan anak-anak dan keturunan yang meneruskan dinasti Wiralodra. Hanya
pada silsilah pertama terdapat sosok Endang Dharma Ayu, yang disebut-sebut sebagai istri Wiralodra I.
Versi
Dasuki
Setelah
Cimanuk menjadi pedukuhan yang dibuka Wiralodra, beberapa orang berdatangan
lalu menjadi penduduk. Di antaranya seorang perempuan bernama Endang Dharma Ayu
(yang diindetikkan sebagai Nyi
Mas Gandasari), yang datang diiringi dua pembantunya, Tana dan Tani.
Alasan kedatangan karena di tempat tersebut daerah yang subur untuk bercocok
tanam. Saat itu Wiralodra sedang “pulang kampung” ke Bagelen, sehingga izin
tinggal diberikan oleh Ki Tinggil.
Tanaman
di ladang Endang Dharma tumbuh subur. Banyak penduduk yang datang kepadanya
minta nasihat. Lalu ia mengajarkan ilmu bertani, bahkan ia pun mengarajarkan
ilmu kanuragan. Pengajaran ini mengundang kemarahan Pangeran Guru
(diidentikkan Arya Dilah, putra Prabu Wikrama Wardana dari Majapahit yang
menjadi gubernur di Palembang) dan 24 muridnya yang khusus datang dari
Palembang dan ingin mencoba kemampuannya. Meski Endang Dharma menolak, pada
akhirnya terjadilah perkelahian, yang dimenangkan pihak Endang Dharma. Pangeran
Guru dan 24 muridnya tewas (25 orang, disebut juga Pangeran Selawe).
Akibat
peristiwa itu, Wiralodra yang dilapori Ki Tinggil, melakukan penangkapan
terhadap Endang Dharma. Terjadilah perkelahian, walaupun masing-masing ternyata
menaruh rasa cinta. Selanjutnya, penulis menafsirkan dua kemungkinan.
Kemungkinan pertama, Wiralodra dan Endang Dharma menikah lalu nama Dharma Ayu
diabadikan sebagai nama daerah. Kemugkinan kedua, karena merasa kalah kemudian
Endang Dharma menceburkan diri ke sungai Cimanuk dan minta namanya diabadikan
sebagai nama pedukuan itu, yakni Dharma Ayu. Penyebutan Dharma Ayu lama-lama
menjadi Darmayu, Dermayu, dan oleh orang Belanda disebut in-Dermayu,
kemudian menjadi Indramayu. Kiprah Endang Darma selanjutnya tak
terungkap, sementara Wiralodra menurunkan dinasti ingga beberapa generasi,
tanpa disebutkan siapa istrinya.
Misteri
kegelapan tentang tokoh Endang Darma dimulai sejak awal. Tak terungkap siapa
jati diri dan asal-usul yang pasti. Tak terungkap pula bagaimana kiprah sebagai
pendamping (istri) Wiralodra. Kalaupun wafat karena bunu diri (menceburkan ke
sungai Cimanuk), sosok perempuan lain yang mendampingi Wiralodra daan
menurunkan generasi Wiralodra berikutnya ternyata tak terungkap pula. Opini
publik tetap mengarah bahwa pendamping Wiralodra adalah Endang Dharma. Ingga
bagian akhir pun, sosok Endang Dharma tak terungkap secara gamblang dan pasti.
Versi
Sutadji
Nama
asli Endang Dharma adalah Siti Maemunah (identik pula dengan Nyi Mas Gandasari,
Nyi Mas Panguragan, Nyi Mas Ratna Gumilang, Ratu Saketi) sesuai yang lahir di
Pasai Aceh tahun 1500. Ia adik Fatahillah (Fadillah Kan). Ayahnya adalah
Makhdar Ibrahim, cucu dari Maulana Malik Ibrahim, salah seorang Walisanga yang
wafat di Gresik taun 1419. Endang Dharma merupakan mata-mata Kesultanan Cirebon
dalam syiar agama Islam. Salah satu tugasnya adalah mencuri sarpa kandaga
berupa patung ular yang terbuat dari emas untuk melemahkan kekuatan Galuh pada
tahun 1521. Kemudian ia mencari pasangan yang cocok untuk tugas tersebut.
Pilihannya jatuh kepada Wiralodra. Untuk mendekati Wiralodra, ia menyamar
menjadi pendatang ke pedukuhan Cimanuk.
Kiprah
Endang Dharma turut mengembangkan Islam bersama Sunan Gunung Jati, baik dalam
situasi damai maupun dalam peperangan. Tahun 1471 ikut mengembangkan peantren
Ki Gedeng Bungko. Saat pertempuran di Girinata dan Sadomas, ia ikut serta.
Begitu pula saat Endang Dharma bertempur melawan Pangeran Nitinagara atau
Waduaji dari Pajajaran. Pendeknya, deskripsi tentang Endang Dharma adalah
mata-mata yang cerdik, komandan pasukan yang berani, juru damai yang dihormati,
pelaksana syiar agama yang tidak kenal lelah dan pendamping suami yang setia.
Mengenai
perkelahian antara Endang Dharma dengan Wiralodra, setelah ”tragaedi Pangeran
Guru” berakhir dengan bertautnya dua hati. Mereka lalu menikah di Pegaden,
karena di tempat itu ada saudara Wiralodra bernama Wirasetro. Meski demikian,
Wiralodra tidak bisa membantu Endang Dharma dalam misi mencuri sarpa kadaga.
Hal itu karena Wiralodra misi yang berbeda, yakni mempersiapkan Cimanuk menjadi
pangkalan armada angkatan laut Demak dalam rangka penyerangan Demak ke Banten
dan Sunda Kalapa. Misi itu dia emban sejak Demak dipimpin Raden Patah, lalu
Adipati Yunus, hingga Sultan Trenggono. Misi Endang Dharma dikisahkan berakhir
sukses.
Pusara
Sutadji
K.S. memiliki pendapat, sosok Endang Dharma adalah Nyi Mas Gandasari, seperti
terdapat dalam beberapa sumber babad di Cirebon. Mengenai Gandasari ini,
dikisahkan untuk mencari pasangan dalam misi mencuri sarpa kandaga. Di
Desa Panguragan, ia mengadakan sayembara seolah-olah mencari jodoh. Yang dapat
mengalahkan kesaktian Endang Dharma, dialah yang menjadi jodohnya.
Beberapa
pembesar dan pendekar mencobanya, seperti Pangeran Rudamala, Dipati Rangkong,
Jaka Supetak, Ki Demang Paluamba, Jaka Pekik, Ki Jungjang, Ki Plered, dll. Yang
dapat menandinginya adalah Pangeran Ramagelung (Jaka Soka). Gandasari lari ke
Keraton Pakungwati. Ramagelung menuntut dijadikan suami. Setelah dijelaskan
Sunan Gunung Jati tentang misi rahasia, Ramagelung menyadari. Ia pun ikut
membantu Gandasari. Gandasari mendapat gelar baru, Nyi Mas Ratna Panguragan.
Menurut
Sutadji, pusara Endang Darma terdapat di Bojong Indramayu. Situs yang terdapat
di Panguragan Cirebon dianggap hanyalah merupakan petilasan saat ia berkhalwat,
yang ketika akan memasuki arena sayembara.
Sumber
dari Cirebon
Sumber
tradisional Cirebon, seperti ditulis dalam buku Sejarah Cirebon dan Silsilah
Sunan Gunung Jati Maulana Syarif Hidayatullah (P.S. Sulendraningrat, 1990)
menyebut nama Gandasari dalam “peristiwa sarpa kandaga”. Meski demikian, tak
disebutkan kedentikan Gandasari sebagai Endang Darma.
Hal
serupa juga pada buku Kerajaan Cerbon 1479-1809 (Unang Sunardjo, 1983)
yang menegaskan peristiwa itu terjadi pada tahun 1529. Dalam peristiwa dengan
Rajagaluh itu turut serta Nay Mas Gandasari, yang berhasil mengambil pusaka
Rajagaluh, golek sarpa. Lagi-lagi tak ada penyebutan identik dengan
Endang Darma. Selain itu, Cirebon juga didukung Demak. Ikut pula Adipati
Wiralodra dari Dermayu dan para Ki Gedeng. Gandasari wafat dimakamkan di
Panguragan Cirebon.
Identitas Endang Dharma atau Gandasari atau Ratna
Panguragan sebagai Siti Maemunah dari Pasai, adik Fatahillah dan cucu
salah seorang walisanga, Maulana Malik Ibrahim seperti yang diungkapkan
Sutadji, ternyata tidak ada sumber lain yang menyebutkan itu. Akan tetapi
Sutadji berargumen, nama-nama itu sebagai upaya penyamaran Endang Dharma. Pada
pokoknya menurut dia, figurnya tetap satu, yakni Endang Dharma.
Peneliti
babad dari Keraton Kacirebonan, drh. R. Bambang Irianto, B.A. pada saat seminat
Sejarah Indramayu tahun 2007 bahkan menegaskan, tidak ada satu naskah pun
selain Babad Dermayu yang menyatakan bahwa Endang Darma identik dengan
Nyi Mas Gandasari atau Nyi Gedeng Panguragan.
Kesaksian
kultural
Ada dua
hal yang menjadi ketidakjelasan tokoh Endang Dharma. Pertama, hanya Babad
Dermayu yang menyebut Endang Darma identik dengan nama tiga perempuan
sekaligus, yaitu Gandasari, Nyi Panguragan, dan Siti Maemunah. Babad Cirebon
menyebutkan tokoh Gandasari identik dengan Nyi Panguragan dan disebutkan pula
berasal dari Aceh (tak menyebut nama), tetapi tanpa menyebut nama Endang Darma.
Dua sumber yang sam-sama sebagai sumber tradisional itu ternyata tidak
sebangun. Sumber tradisional dari daerah lain ataupun sumber asing hingga kini
belum ada.
Kedua,
nama Endang Dharma yang dipercaya sebagai cikal-bakal nama daerah Indramayu,
justru memiliki perbedaan misi antara pendapat Dasuki dengan Sutadji, meskipun
keduanya bersumber pada sumber tradisional yang sama.
Pemerhati
sejarah Indramayu, Sulistijo, berpendapat ketokohan Dharma Ayu hingga kini
belum jelas. ”Malah buku yang ditulis H.A. Dasuki seperti bersikap mendua,
antara menceburkan diri ke sungai Cimanuk ataukah menikah dengan Wiralodra.
Sulitnya, babad daerah lain justru tak mengenal namanya,” ungkapnya.
Jika
dianggap sebagai kekurangan pada diri Endang Dharma, kekurangan itu adalah
hanya sumber tradisional berupa babad Dermayu yang menyebut
keberadannya. Sumber lain, baik historiografi tradisional dari daerah
lain maupun yang modern, justru tak menyebutkannya. Hal inilah yang membuat
tokoh perempuan itu seperti terselubung misteri kegelapan. Sebuah kekurangan,
yang sesungguhnya, adalah yang paling elementer untuk mengangkat ketokohan
seseorang maupun kevalidan data.
No comments:
Post a Comment