Terimakasih atas kunjungan anda
|
|
Adiparwa (bahasa Sanskerta:) adalah buku pertama atau bagian (parwa)
pertama dari kisah Mahabharata. Pada
dasarnya bagian ini berisi ringkasan keseluruhan cerita Mahabharata,
kisah-kisah mengenai latar belakang ceritera, nenek moyang keluarga Bharata hingga masa muda Korawa dan Pandawa . Kisahnya dituturkan
dalam sebuah cerita bingkai dan alur ceritanya meloncat-loncat sehingga tidak
mengalir dengan baik. Penuturan kisah keluarga besar Bharata tersebut dimulai dengan
percakapan antara Bagawan Ugrasrawa yang mendatangi Bagawan Sonaka di hutan
Nemisa.
Ringkasan isi Kitab Adiparwa
Adiparwa
dituturkan seperti sebuah narasi. Penuturan isi kitab tersebut bermula ketika
Sang Ugrasrawa mendatangi Bagawan Sonaka
yang sedang melakukan upacara di hutan Nemisa. Sang
Ugrasrawa menceritakan kepada Bagawan Sonaka tentang keberadaan sebuah kumpulan
kitab yang disebut Astadasaparwa, pokok
ceritanya adalah kisah perselisihan Pandawa dan Korawa keturunan Sang Bharata. Dari penuturan Sang Ugrasrawa,
mengalirlah kisah besar keluarga Bharata tersebut (Mahābhārata).
Mangkatnya Raja Parikesit
Dikisahkan, ada
seorang Raja bernama Parikesit, putera Sang Abimanyu, yang bertahta di Hastinapura. Ia merupakan keturunan Sang Kuru,
maka disebut juga Kuruwangsa. Pada suatu hari, beliau berburu kijang ke tengah hutan. Kijang diikutinya sampai kehilangan
jejak. Di hutan beliau berpapasan dengan seorang pendeta bernama Bagawan
Samiti. Sang Raja menanyakan kemana kijang buruannya pergi, namun sang pendeta
membisu (bertapa dengan bisu). Hal tersebut membuat Raja Parikesit marah. Ia
mengambil bangkai ular, kemudian mengalungkannya di leher sang
pendeta.
Putera sang
pendeta yang bernama Srenggi, mengetahui hal tersebut dari penjelasan Sang
Kresa, kemudian ia menjadi marah. Ia mengutuk Sang Raja, agar beliau wafat
karena digigit ular, tujuh hari setelah kutukan diucapkan. Setelah Sang Raja
menerima kutukan tersebut, maka ia berlindung di sebuah menara yang dijaga dan diawasi dengan ketat oleh prajurit dan
para patihnya. Di sekeliling menara juga telah siap para tabib yang ahli
menangani bisa ular. Pada hari ketujuh, yaitu hari yang
diramalkan menjadi hari kematiannya, seekor naga
yang bernama Taksaka menyamar menjadi ulat
pada jambu yang dihaturkan kepada Sang Raja. Akhirnya
Sang Raja mangkat setelah digigit Naga Taksaka yang menyamar menjadi ulat dalam
jambu
Raja Janamejaya mengadakan upacara korban ular
Setelah
Maharaja Parikesit mangkat, puteranya yang bernama Janamejaya menggantikan tahtanya. Pada waktu itu
beliau masih kanak-kanak, namun sudah memiliki kesaktian, kepandaian, dan wajah
yang tampan. Raja Janamejaya dinikahkan dengan puteri dari Kerajaa Kasi bernama Bhamustiman. Raja
Janamejaya memerintah dengan adil dan bijaksana sehingga dunia tenteram, setiap
musuh pasti dapat ditaklukkannya. Ketika Sang Raja berhasil menaklukkan desa
Taksila, Sang Uttangka datang menghadap Sang Raja dan mengatakan niatnya yang
benci terhadap Naga Taksaka, sekaligus menceritakan bahwa penyebab kematian
ayahnya adalah karena ulah Naga Taksaka.
Sang Raja
meneliti kebenaran cerita tersebut dan para patihnya membenarkan cerita Sang Uttangka.
Sang Raja dianjurkan untuk mengadakan upacara pengorbanan ular untuk membalas
Naga Taksaka. Singkat cerita, beliau menyiapakan segala kebutuhan upacara dan
mengundang para pendeta dan ahli mantra untuk membantu proses upacara. Melihat
Sang Raja mengadakan upacara tersebut, Naga Taksaka menjadi gelisah. Kemudian
ia mengutus Sang Astika
untuk menggagalkan upacara Sang Raja. Sang Astika menerima tugas tersebut lalu
pergi ke lokasi upacara. Sang Astika menyembah-nyembah Sang Raja dan memohon
agar Sang Raja membatalkan upacaranya. Sang Raja yang memiliki rasa belas
kasihan terhadap Sang Astika, membatalkan upacaranya. Akhirnya, Sang Astika
mohon diri untuk kembali ke Nagaloka. Naga Taksaka pun selamat dari upacara
tersebut.
Wesampayana menuturkan Mahabharata
Maharaja Janamejaya yang sedih
karena upacaranya tidak sempurna, meminta Bagawan Byasa untuk
menceritakan kisah leluhurnya, sekaligus kisah Pandawa dan Korawa yang bertempur di Kurukshetra. Karena Bagawan Byasa sibuk dengan
urusan lain, maka Bagawan Wesampayana disuruh
mewakilinya. Ia adalah murid Bagawan Byasa, penulis kisah besar keluarga Bharata atau Mahabharata. Sesuai keinginan Raja Janamejaya. Bagawan Wesampayana menuturkan sebuah
kisah kepada Sang Raja, yaitu kisah sebelum sang raja lahir, kisah Pandawa dan
Korawa, kisah perang di Kurukshetra,
dan kisah silsilah leluhur sang raja. Wesampayana mula-mula menuturkan kisah
leluhur Maharaja Janamejaya (Sakuntala, Duswanta, Bharata, Yayati, Puru, Kuru) kemudian
kisah buyutnya, yaitu Pandawa dan Korawa.
Silsilah Dinasti Kuru dan Yadu
Leluhur
Maharaja Janamejaya
yang menurunkan pendiri Dinasti Puru dan Yadu bernama Maharaja Yayati, beliau
memiliki dua permaisuri, namanya Dewayani dan Sarmishta. Dewayani melahirkan Yady dab Turwasu, sedangkan Sarmishta melahirkan Anu, Druhyu, dan Puru. Keturunan Sang Yadu disebut Yadawa sedangkan
keturunan Sang Puru disebut Paurawa.
Nahusa
|
Asokasundari
|
|||||||||||||||||||||||||||||
Dewayani
|
Yayati
|
Sarmista
|
||||||||||||||||||||||||||||
Yadu
|
Turwasu
|
Anu
|
Puru
|
|||||||||||||||||||||||||||
Yadu
menurunkan
wangsa Yadawa |
Puru
menurunkan
wangsa Paurawa |
|||||||||||||||||||||||||||||
Dalam silsilah
generasi Paurawa,
lahirlah Maharaja Dushyanta, menikahi Sakuntala, yang kemudian menurunkan Sang Bharata. Sang Bharata menaklukkan dunia dan daerah jajahannya kemudian dikenal sebagai Bharatawarsha. Sang Bharata
menurunkan Dinasti Bharata. Dalam Dinasti Bharata lahirlah Sang Kuru yang menyucikan
sebuah tempat yang disebut Kurukshetra, kemdian menurunkan Kuruwangsa, atau Dinasti Kuru.Setelah beberapa
generasi, lahirlah Prabu Santanu, yang mewarisi tahta Hastinapura.
Prabu Santanu memiliki dua istri, yaitu Dewi Gangga dan Satyawati. Dewi Gangga
melahirkan Bhisma,
sedangkan Satyawati melahirkan Chitrangada dan Wicitrawirya. Karena
Chitrāngada wafat di usia muda dan Bhisma bersumpah tidak akan mewarisi tahta,
maka Wicitrawirya melanjutkan pemerintahan ayahnya. Wicitrawirya memiliki dua
permaisuri, yaitu Ambika dan Ambalika.
Dari Ambika lahirlah Drestarastra dan dari Ambalika lahirlah Pandu. Drestarastra
memiliki seratus putera yang disebut Korawacata (seratus
Korawa) sedangkan Pandu memiliki lima putera yang disebut Panca Pandawa (lima
putera Pandu).
Puru
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Wangsa
Paurawa |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Generasi
Paurawa |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sakuntala
|
Duswanta
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Bharata
|
Watsa
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Keluarga
Bharata |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Yasodari
|
Hasti
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Para
Raja
Hastinapura |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Kuru
|
Yamadi
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Dinasti
Kuru |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sunanda
|
Pratipa
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Tersebutlah
seorang Raja bernama Pratipa, beliau
merupakan salah satu keturunan Sang Kuru atau
Kuruwangsa, bertahta di Hastinapura. Raja Pratipa
memiliki permaisuri bernama Sunandha dari Kerajaan
Siwi, yang
melahirkan tiga putera. Di antara ketiga putera tersebut, Santanu dinobatkan
menjadi Raja. Raja Santanu menikahi Dewi
Gangga, kemudian
berputera 8 orang. Tujuh puteranya yang lain ditenggelamkan ke sungai oleh
istrinya sendiri, sedangkan puteranya yang terakhir berhasil selamat karena
perbuatan istrinya dicegah oleh Sang Raja. Puteranya tersebut bernama Dewabrata, namun di
kemudian hari bernama Bhisma. Raja Santanu
menikah sekali lagi dengan seorang puteri nelayan bernama Satyawati. Satyawati
melahirkan 2 putera, bernama Chitrāngada dan Wicitrawirya.
Chitrāngada mewarisi tahta
ayahnya. Namun karena ia gugur di usia muda pada suatu pertempuran melawan
seorang Raja Gandharva,
pemerintahannya digantikan oleh adiknya, Wicitrawirya. Wicitrawirya
menikahi Ambika dan Ambalika dari Kerajaan
Kasi. Tak lama
setelah pernikahannya, Wicitrawirya wafat. Untuk memperoleh keturunan, kedua
janda Wicitrawirya melangsungkan upacara yang dipimpin oleh Bagawan Byasa. Ambika
melahirkan Drestarastra yang buta
sedangkan Ambalika melahirkan Pandu yang pucat.
Atas anugerah Bagawan Byasa, seorang pelayan yang turut serta dalam upacara
tersebut melahirkan seorang putera, bernama Widura yang sedikit
pincang. Drestarastra
menikahi Gandari kemudian
memiliki seratus putera yang disebut Korawa. Pandu
menikahi Kunti dan Madrim. Kunti
melahirkan Yudistira, Bhima, dan Arjuna. Madri
melahirkan Nakula dan Sadewa. Keturunan
Pandu tersebut disebut Pandawa.
kurawa
Kisah masa kecil Pandawa dan Korawa
Pandawa dan Korawa hidup
bersama-sama di istana Hastinapura. Bagawan Drona mendidik
mereka semasa kanak-kanak, bersama dengan puteranya yang bernama Aswatama. Selain itu
mereka diasuh pula oleh Bhisma dan Bagawan Kripa. Setelah Pandu mangkat,
kakaknya yang bernama Drestarastra melanjutkan
pemerintahan. Drestarastra melihat talenta para Pandawa dan hendak mencalonkan Yudistira sebagai Raja,
namun hal tersebut justru menimbulkan sikap iri hati dalam diri Duryodana, salah satu
Korawa. Tingkah laku Bima yang tanpa sengaja merugikan para Korawa juga sering
membuat Duryodana dan adik-adiknya kesal.
pandawa
Terbakarnya rumah damar
Suatu hari Duryodana berpikir ia
bersama adiknya mustahil untuk dapat meneruskan tahta Dinasti
Kuru apabila
sepupunya masih ada. Mereka semua (Pandawa lima dan
sepupu-sepupunya atau yang dikenal juga sebagai Korawa) tinggal
bersama dalam suatu kerajaan yang beribukota di Hastinapura. Akhirnya
berbagai niat jahat muncul dalam benaknya untuk menyingkirkan Pandawa lima
beserta ibunya.
Drestarastra yang mencintai
keponakannya secara berlebihan mengangkat Yudistira sebagai putra
mahkota tetapi ia langsung menyesali perbuatannya yang terlalu terburu-buru
sehingga ia tidak memikirkan perasaan anaknya. Hal ini menyebabkan Duryodana
iri hati dengan Yudistira, ia mencoba untuk membunuh pandawa lima beserta ibu
mereka yang bernama Kunti dengan cara
menyuruh mereka berlibur ke tempat yang bernama Ekacakra. Di sana terdapat
bangunan yang megah, yang telah disiapkan Duryodana untuk mereka berlibur dan
akan membakar bagunan itu di tengah malam pada saat pandawa lima sedang
terlelap tidur. Segala sesuatunya yang sudah direncanakan Duryodana dibocorkan
oleh Widura yang merupakan
paman dari Pandawa lima. Sebelum itu juga Yudistira juga telah diingatkan oleh
seorang petapa yang datang ke dirinya bahwa akan ada bencana yang menimpannya
oleh karena itu Yudistira pun sudah berwaspada terhadap segala kemungkinan.
Untuk pertama kalinya Yudistira lolos dalam perangkap Duryodana dan melarikan
diri ke hutan rimba.
Pada suatu
hari, Pandawa mengikuti
sayembara yang diselenggarakan Raja Drupada di Kerajaan
Panchala. Sayembara
tersebut memperebutkan Dewi Dropadi. Banyak
ksatria di penjuru Bharatawarsha turut
menghadiri. Para Pandawa menyamar sebagai seorang Brāhmana. Sebuah
sasaran diletakkan di tengah-tengah arena, dan siapa yang berhasil memanah
sasaran tersebut dengan tepat, maka ialah yang berhasil mendapatkan Dropadi.
Satu-persatu ksatria maju, namun tidak ada satu pun yang berhasil memanah
dengan tepat. Ketika Karna dari Kerajaan
Anga turut serta,
ia berhasil memanah sasaran dengan baik. Namun Dropadi menolak untuk menikahi
Karna karena karna anak seorang kusir yang tentu lebih rendah kastanya. Karna kecewa
tetapi juga kesal terhadap Dropadi.
Para Pandawa yang diwakili
oleh Arjuna turut serta.
Arjuna berpakaian seperti Brāhmana. Ketika ia
tampil ke muka, ia berhasil memanah sasaran dengan baik, maka Dropadi berhak menjadi
miliknya. Namun hal tersebut menimbulkan kericuhan karena seorang Brāhmana
tidak pantas untuk mengikuti sayembara yang ditujukan kepada golongan ksatria. Arjuna dan Bima pun berkelahi
dengan para ksatria di sana, sementara Yudistira, Nakula dan Sadewa melarikan
Dropadi ke rumah mereka. Sesampainya di rumah, Pandawa berseru, "Ibu, kami
datang membawa hasil meminta-minta". Kunti, ibu para
Pandawa, tidak melihat apa yang dibawa oleh anak-anaknya karena sibuk dan
berkata, "Bagi dengan rata apa yang kalian peroleh". Ketika ia
menoleh, alangkah terkejutnya ia karena anak-anaknya tidak saja membawa hasil
meminta-minta, namun juga seorang wanita. Kunti yang tidak mau berdusta,
membuat anak-anaknya untuk berbagai istri
Arjuna mengasingkan diri ke hutan
Para Pandawa sepakat untuk
membagi Dropadi sebagai istri.
Mereka juga berjanji tidak akan mengganggu Dropadi ketika sedang bermesraan di
kamar bersama dengan salah satu dari Pandawa. Hukuman dari perbuatan yang
mengganggu adalah pembuangan selama 12 tahun.
Pada suatu
hari, ketika Pandawa sedang memerintah kerajaannya di Indraprastha, seorang
pendeta masuk ke istana dan melapor bahwa pertapaannya diganggu oleh para rakshasa. Arjuna yang
merasa memiliki kewajiban untuk menolongnya, bergegas mengambil senjatanya.
Namun senjata tersebut disimpan di sebuah kamar dimana Yudistira dan Dropadi sedang
menikmati malam mereka. Demi kewajibannya, Arjuna rela masuk kamar mengambil
senjata, tidak memedulikan Yudistira dan Dropadi yang sedang bermesraan di
kamar. Atas perbuatan tersebut, Arjuna dihukum untuk menjalani pembuangan
selama 12 tahun. Arjuna menerima hukuman tersebut dengan ikhlas.
Arjuna
menghabiskan masa pengasingannya dengan menjelajahi penjuru Bharatawarsha atau daratan India Kuno. Selama masa pengasingannya, Arjuna
memiliki tiga istri lagi. Mereka adalah: Subadra (adik Sri Kresna), Ulupi, dan Citrangada. Dari
hubungannya dengan Subadra anaknya
bernama Abimanyu. Dengan Ulupi anaknya
bernama Irawan. Dengan Citrangada anaknya
bernama Babruwahana.
arjuna
Kisah lain dalam Kitab Adiparwa
Selain kisah Pandawa dan Korawa, Sang
Ugrasrawa juga menuturkan kisah lain kepada Bagawan Sonaka, yang berbentuk
cerita bingkai, sehingga alur ceritanya campuran, tidak mengalir ke depan
melainkan meloncat-loncat
Dikisahkan
seorang Brāhmana bernama
Bagawan Dhomya, tinggal di Ayodhya. Ia memiliki 3
murid, bernama: Sang Utamanyu, Sang Arunika, dan Sang Weda. Ketiganya akan
diuji kesetiaannya oleh Sang Guru. Sang Arunika disuruh bersawah. Dengan
berhati-hati Sang Arunika merawat biji padi yang
ditanamnya. Ketika biji-bijinya sedang tumbuh, datanglah hujan membawa air bah yang kemudian
merusak pematang sawahnya. Ia khawatir kalau air tersebut akan merusak
tanamannya, maka ia perbaiki pematangnya untuk menahan air. Berkali-kali
usahanya gagal dan pematangnya jebol, maka ia merebahkan dirinya sebagai
pengganti pematang yang jebol untuk menahan air. Karena kesetiannya tersebut,
Sang Arunika diberikan anugerah kesaktian oleh Bagawan Dhomya.
Sementara itu,
Sang Utamanyu disuruh mengembala sapi. Sang Utamanyu
tidak diperbolehkan untuk meminta-minta air kalau ia sedang haus saat
mengembala sapi, maka ia menjilat susu sapi yang digembalanya. Hal tersebut
juga ditentang oleh Sang Guru, maka Sang Utamanyu menghisap getah daun “waduri”
untuk menghilangkan dahaga. Hal tersebut mengakibatkan matanya buta. Ia tidak
tahu jalan sehingga terperosok ke dalam sumur kering. Sampai sore, Sang
Utamanyu tidak juga kembali pulang, gurunya menjadi cemas. Ketika dicari,
didapatinya Sang Utamanyu berada dalam sebuah sumur. Bagawan Dhomya kemudian
mendengarkan cerita Sang Utamanyu. Karena kesetiannya terhadap kewajiban, Sang
Utamanyu diberikan mantra sakti yang mampu
menyembuhkan penyakit oleh Bagawan Dhomya.
Sementara itu,
Sang Weda disuruh tinggal di dapur untuk menyediakan hidangan yang terbaik buat
gurunya. Sang Weda selalu menuruti perintah gurunya, meski yang buruk
sekalipun. Segala perintah gurunya dikerjakan dengan baik. Maka dari itu, Sang
Weda dianugerahi segala macam ilmu
pengetahuan, mantra Veda, dan
kecerdasan.
Kisah Sang Winata dan Sang Kadru
Dikisahkan
terdapat seorang Maharsi bernama Bagawan Kasyapa, putera
bagawan Marici, cucu Dewa Brahma. Ia diberi
oleh Bagawan daksa empat belas puteri. Keempat belas puteri tersebut bernama:
Aditi, Diti, Danu, Aristi, Anayusa, Kasa, Surabhi, Winata, Kadru, Ira, Parwa,
Mregi, Krodhawasa, Tamra. Di antara empat belas puteri tersebut, Sang Winata dan Kadru tidak memiliki
anak. Mereka berdua kemudian memohon belas kasihan Bagawan Kasyapa. Sang Kadru
memohon seribu anak sedangkan Sang Winata hanya memohon dua anak. Kemudian
Bagawan Kasyapa memberikan Sang Kadru seribu butir telur sedangkan Sang
Winata diberikan dua butir telur. Kedua puteri tersebut kemudian merawat telur
masing-masing dengan baik.
Singkat cerita,
seribu butir telur milik Sang Kadru menetas, dan lahirlah para Naga. Yang
terkemuka adalah Sang Anantabhoga, Sang Wasuki, dan Sang Taksaka. Sementara
telur Sang Kadru sudah menetas semuanya, telur Sang Winata belum menetas.
Karena tidak sabar, maka telurnya dipecahkan. Ketika pecah, terlihatlah seorang
anak yang baru setengah jadi, bagian tubuh ke atas lengkap sedangkan dari
pinggang ke bawah tidak ada. Sang anak marah karena ditetaskan sebelum
waktunya. Anak tersebut kemudian mengutuk ibunya supaya diperbudak oleh Sang
Kadru berlebih-lebihan. Kelak, saudaranya yang akan menetas akan menyelamatkan
ibunya dari perbudakan. Anak tersebut kemudian diberi nama Sang Aruna, karena tidak
memiliki kaki dan paha. Sang Aruna menjadi sais (kuir) kereta Dewa Surya
Kisah pemutaran Mandaragiri
Kurma Awatara
sebagai kura-kura yang menjadi dasar Mandaragiri
Dikisahkan,
pada zaman dahulu kala, para Dewa, detya, dan rakshasa mengadakan
rapat untuk mencari tirta amerta (air suci).
Sang Hyang Nārāyana (Wisnu) mengatakan
bahwa tirta tersebut berada di dasar laut Ksira. Cara mendapatkannya adalah
dengan mengaduk lautan tersebut. Para Dewa, detya, dan rakshasa kemudian menuju
laut Ksira. Untuk mengaduknya, Naga Wasuki mencabut gunung Mandara (Mandaragiri)
di pulau Sangka sebagai tongkat pengaduk. Gunung tersebut dibawa ke tengah
lautan. Seekor kura-kura (Kurma) besar menjadi
penyangga/dasar gunung tersebut. Sang Naga melilit gunung tersebut, kemudian
para Dewa memegang ekornya, sedangkan rakshasa dan detya memegang kepalanya.
Dewa Indra berdiri di
puncaknya agar gunung tidak melambung ke atas.
Beberapa lama
setelah gunung diputar, keluarlah Ardhachandra, Dewi Sri, Dewi Lakshmi, kuda Uccaihsrawa, dan Kastubhamani. Semuanya berada di pihak para Dewa.
kemudian, munculah Dhanwantari membawa kendi
tempat tirta amerta. Para detya ingin agar tirta tersebut menjadi milik mereka
sebab sejak awal tidak pernah dapat bagian. Tirta amerta pun menjadi milik
mereka. Para Dewa memikirkan cara untuk merebut tirta tersebut. akhirnya Dewa Wisnu mengubah
wujudnya menjadi seorang wanita cantik, kemudian mendekati para rakshasa dan detya. Para
rakshasa-daitya yang melihatnya menjadi terpesona, dan menyerahkan kendi berisi
tirta tersebut. Wanita cantik itu kemudian pergi sambil membawa tirta amerta dan
berubah kembali menjadi Dewa Wisnu.
Para detya yang
melihatnya menjadi marah. Tak lama kemudian terjadilah pertempuran antara para
Dewa dan rakshasa-detya. Kemudian Dewa Wisnu teringat dengan senjata
chakra-nya. Senjata chakra kemudian turun dari langit dan
menyambar-nyambar para rakshasa-detya. Banyak dari mereka yang lari
terbirit-birit karena luka-luka. Akhirnya ada yang menceburkan diri ke laut dan
masuk ke dalam tanah. Para Dewa akhirnya berhasil membawa tirta amerta ke surga.
Dikisahkan,
pada suatu hari Sang Winata dan Sang Kadru, istri Bagawan Kasyapa, mendengar
kabar tentang keberadaan seekor kuda bernama Uccaihsrawa, hasil
pemutaran Gunung Mandara atau Mandaragiri. Sang Winata mengatakan bahwa warna kuda tersebut putih semua,
sedangkan Sang Kadru mengatakan bahwa tubuh kuda tersebut berwarna putih
sedangkan ekornya saja yang hitam. Karena
berbeda pendapat, mereka berdua bertaruh, siapa yang tebakannya salah akan
menjadi budak. Mereka berencana untuk menyaksikan warna kuda itu besok
sekaligus menentukan siapa yang salah.
Sang Kadru
menceritakan masalah taruhan tersebut kepada anak-anaknya. Anak-anaknya
mengatakan bahwa ibunya sudah tentu akan kalah, karena warna kuda tersebut
putih belaka. Sang Kadru pun cemas karena merasa kalah taruhan, maka dari itu
ia mengutus anak-anaknya untuk memercikkan bisa ke ekor kuda tersebut supaya
warnanya menjadi hitam. Anak-anaknya menolak untuk melaksanakannya karena
merasa perbuatan tersebut tidak pantas. Sang Kadru yang marah mengutuk
anak-anaknya supaya mati ditelan api pada saat upacara pengorbanan ular yang
diselenggarakan Raja Janamejaya. Mau tak mau,
akhirnya anak-anaknya melaksanakan perintah ibunya. Mereka pun memercikkan bisa ular ke ekor kuda
Uccaihsrawa sehingga warnanya yang putih kemudian menjadi hitam. Akhirnya Sang
Kadru memenangkan taruhan sehingga Sang Winata harus menjadi budaknya.
Sementara itu,
telur yang diasuh Sang Winata menetas lalu munculah burung gagah perkasa yang
kemudian diberi nama Garuda. Sang Garuda
mencari-cari kemana ibunya. Pada akhirnya ia mendapati ibunya diperbudak Sang
Kadru untuk mengasuh para naga. Sang Garuda
membantu ibunya mengasuh para naga, namun para naga sangat lincah berlari
kesana-kemari. Sang Garuda kepayahan, lalu menanyakan para naga, apa yang bisa
dilakukan untuk menebus perbudakan ibunya. Para naga menjawab, kalau Sang
Garuda mampu membawa tirta amerta ke hadapan
para naga, maka ibunya akan dibebaskan. Sang Garuda menyanggupi permohonan
tersebut.
Singkat cerita,
Sang Garuda berhasil menghadapi berbagai rintangan dan sampai di tempat tirta amerta. Pada saat
Sang Garuda ingin mengambil tirta tersebut, Dewa Wisnu datang dan
bersabda, “Sang Garuda, jika engkau ingin mendapatkan tirta tersebut, mintalah
kepadaku, nanti pasti aku berikan”. Sang Garuda menjawab, “Tidak selayaknya
jika saya meminta kepada anda sebab anda lebih sakti daripada saya. Karena
tirta amerta anda tidak mengenal tua dan mati, sedangkan saya tidak. Untuk itu,
berikanlah kepada saya anugerah yang lain”. Dewa Wisnu berkata, “Jika
demikian, aku memintamu untuk menjadi kendaraanku, sekaligus menjadi lambang
panji-panjiku”. Sang Garuda setuju dengan permohonan tersebut sehingga akhirnya
menjadi kendaraan Dewa Wisnu. Kemudian Sang Garuda terbang membawa tirta, namun
Dewa Indra tidak setuju
kalau tirta tersebut diberikan kepada para naga. Sang Garuda
mengatakan bahwa tirta tersebut akan diberikan kalau para naga sudah selesai
mandi.
Sampailah Sang
Garuda ke tempat tinggal para naga. Para naga girang ingin
segera meminum amerta, namun Sang Garuda
mengatakan bahwa tirta tersebut boleh diminum jika para naga mandi terlebih
dahulu. Para naga pun mandi sesuai dengan syarat yang diberikan, tetapi setelah
selesai mandi, tirta amerta sudah tidak ada lagi karena dibawa kabur oleh Dewa Indra. Para naga
kecewa dan hanya mendapati beberapa percikan tirta amerta tertinggal pada daun ilalang. Para naga pun
menjilati daun tersebut sehingga lidahnya tersayat dan terbelah. Daun ilalang
pun menjadi suci karena mendapat tirta amerta. Sementara itu Sang Garuda
terbang ke surga karena merasa
sudah menebus perbudakan ibunya.
Bahasa dan sejarah
Sebagaimana
kisah induknya, Mahabharata, kitab
Adiparwa ini semula dituliskan dalam bahasa
Sanskerta dan dianggap
sebagai cerita suci bagi pemeluk agama Hindu. Tidak
tercatat kapan persisnya kisah ini masuk ke Indonesia. Akan tetapi, sebagaimana
disebutkan dalam bagian pendahuluan Adiparwa versi Jawa Kuna, kitab ini telah
disalin ke dalam bahasa
Jawa kuna atau juga
dikenal sebagai bahasa Kawi pada masa
pemerintahan Raja Dharmawangsa Teguh (kerajaan Kediri, tahun 991-1016)
(Zoetmulder, 1994).
Pengaruh dalam budaya
Kitab Adiparwa
yang diterjemahkan dari Bahasa
Sanskerta ke Bahasa
Jawa Kuno atau Bahasa
Kawi, banyak
digubah menjadi cerita pewayangan. Dalam kitab
Adiparwa yang diterjemahkan dari bahasa Sanskerta mungkin terdapat perbedaan
dengan lakon pewayangannya, yang kadang-kadang besar sekali, sehingga memberi
kesan bahwa segala sesuatunya terjadi di Jawa. Hal ini
disebabkan oleh kecerdasan para pujangga masa lampau yang mampu memindah alam
pikiran para pembaca atau pendengarnya dari suasana India menjadi Jawa Asli. Jika Hastinapura
sebenarnya terdapat di India, maka nama-nama seperti Jonggringsalaka,
Pringgandani, Indrakila, Gua Kiskenda, sampai Gunung Mahameru dibawa ke tanah
Jawa
Begitu pula
dengan tokoh Pancawala (Pancakumara).
Jika dalam versi aslinya mereka terdiri dari lima orang, maka dalam pewayangan
mereka dikatakan hanya satu orang saja. Menurut Mulyono dalam artikelnya
berjudul “Dewi Dropadi:Antara kitab Mahabharata dan Pewayangan Jawa”, ia
menyatakan bahwa terjadinya perbedaan cerita tentang Pancawala antara kitab Mahabharata dengan cerita
dalam pewayangan Jawa karena pengaruh perkembangan agama Islam di tanah Jawa. Hal serupa
juga terjadi pada kisah Dewi Dropadi dalam kitab
Adiparwa. Jika dalam Adiparwa ia bersuami lima orang, maka dalam pewayangan
Jawa (yang sudah terkena pengaruh Islam) Dropadi hanya
bersuami satu orang saja. Menurut hukum Islam, seorang wanita tidak boleh
memiliki suami lebih dari satu. Maka dari itu, cerita Dewi Dropadi dalam kitab Mahabharata versi asli
yang bercorak Hindu menyalahi
hukum Islam. Untuk
mengantisipasinya, para pujangga ataupun seniman Islam mengubah cerita tersebut
agar sesuai dengan ajaran Islam. Pancawala
yang sebenarnya merupakan lima putera Pandawa pun diubah
menjadi seorang tokoh yang merupakan putera Yudistira saja.
=wikipedia=
No comments:
Post a Comment