Friday 16 March 2012

PAJAJARAN SIRNA


Terimakasih atas kunjungan anda



Kebesaran Pajajaran hanya bertahan hingga pemerintahan Prabu Sanghiyang Surawisesa (putra mahkota dari permaisuri Kentringmanik Mayangsunda). Prabu Surawisesa memerintah Kerajaan Pajajaran dari tahun 1521- 1535 M. Setelah wafat digantikan oleh putranya yang bernama Ratu Dewata.
Ratu Dewata merupakan raja ke tiga Pajajaran, ia cenderung mengabaikan urusan duniawi. Ia bertindak sebagai raja pendeta (ngarajaresi) dan selalu berpuasa, hanya makan buah-buahan dan minum susu.. Mungkin ia merasa jemu dengan urusan duniawi, seperti peperangan yang sering terjadi. Atau mungkin untuk keamanan negara merasa percaya dengan perjanjian antara Pajajaran – Cirebon yang dibuat oleh ayahnya dengan Susuhunan Jati.
Panembahan Hasanudin dari Banten Pesisir, sebenarnya kurang setuju atas perjanjian damai Pajajaran - Cerebon . Sebab perjanjian itu hanya aman bagi Cirebon, tetapi menjadi ancaman bagi Banten. Ia menyetujui perjanjian itu karena taat pada ayahnya (Susuhunan Jati).

Hasrat Panembahan Hasanudin untuk menguasai Pakuan, secara terselubung membentuk pasukan khusus tanpa identitas, sebagaimana yang telah dilakukannya ketika membentuk "pasukan gerilyawan misterius" di Banten. Secara garis keturunan, Panembahan Hasanudin adalah cicit Sri Baduga Maharaja dari alur darah Kawunganten maupun dari Susuhunan Jati, mungkin ia merasa berhak atas tahta Pajajaran.
Akhirnya terjadi pertempuran antara pasukan tambuh sangkane (tanpa identitas) dengan pasukan Pajajaran. Namun Pajajaran masih terlalu tangguh untuk dikalahkan oleh pasukan tersebut.
Peristiwa tersebut disindir dalam caritaparahiyangan kropak 406. "Ya hati-hatilah orang-orang yang kemudian, janganlah engkau kalah perang karena rajin puasa."
Ratu Dewata memerintah Pajajaran dari tahun 1535 - 1543 M setalah wafat digantikan oleh putranya yang bernama Ratu Sakti.
Ratu Sakti dalam menjalankan tugasnya sebagai raja Pajajaran ke empat bertindak terlalu kejam. Dalam situasi Pajajaran sedang memburuk Ratu Sakti bertindak sekehendak hatinya, tidak lagi mempedulikan etika kenegaraan. Ia membunuh orang-orang tidak berdosa, merampas harta rakyat tanpa perasaaan malu, tidak berbakti pada orang tua dan menghinakan para pendeta. Ia menikahi "rara hulanjar" (gadis yang sudah bertunangan) saat itu menjadi pantangan untuk dinikahi. Bahkan yang menjadi ketidaketisannya adalah menikahi ibu tirinya (janda ayahnya).
Pelanggaran yang terakhir itulah menyebabkan Ratu Sakti diturunkan dari tahtanya pada tahun 1551 M.
Kelakuan Ratu Sakti disindir dalam Carita Parahiyangan Kropak 406. "mendapat bencana karena perempuan yang datang dari luar dan oleh ibu tiri, janganlah ditiru oleh mereka yang kemudian, kelakuan raja ini."

Kemudian digantikan oleh Prabu Nilakendra, Pajajaran sudah semakin bokbrok, rakyat menderita kelaparan karena keserakahan raja. Di Pajajaran sedang dalam masa kaliyuga (zaman kejahatan dan kemaksiatan). Tiap saat keraton diramaikan dengan pesta-pora, makan enak disertai minum-minum sampai mabuk. Selain itu, kebiasaan Prabu Nilakendra adalah membaca mantra-mantra sampai "tenggelam dalam kefanaan." ini merupakan "upacara Tantrayana" (lupa diri) yang dianut oleh raja.
Sehingga saat datang pasukan tanpa identitas menggempur ibu kota Pakuan, Prabu Nilakendra tidak berdaya, ia meloloskan diri meninggalkan keraton. Prabu Nilakendra tidak diketahui kapan wafatnya dan dimana ? Mungkin ia meninggal di tengah hutan menghindari serangan musuh.
Para pembersar Pajajaran dengan segala upaya mempertahankan Ibu Kota Pakuan, berkat parit dan benteng yang dibangun Sri Baduga, ibu kota dapat diselamatkan.
Setelah pasukan tidak dikenal melakukan serangan yang kedua kalinya, tokoh-tokoh penandatangan perjanjian perdamaian Pajajaran - Cirebon satu persatu meninggal, mereka adalah :

1. Prabu Sanghiyang Surawisesa, wafat lebih awal pada tahun 1535 Masehi.
2. Susuhunan Jati, wafat pada tanggal 12 bagian terang bulan Badra tahun 1490 Saka atau 19 September  
    1568 Masehi.
3. Fadillah Khan, yang menggantikan Susuhunan Jati meninggal dua tahun kemudian, pada tahun 1570 M.
4. Panembahan Hasanudin, wafat pada tahun yang sama dengan Fadillah Khan, pada tahun 1570M.

Panembahan Yusuf, sebagai pengganti Panembahan Hasanudin menjadi raja di Surasowan, mulai tertarik untuk membersihkan Pakuan  secara terang-terangan.
Keadaan Pakuan sendiri setelah ditinggalkan oleh Prabu Nilakendra, sudah tidak berfungsi sebagai ibu kota kerajaan. Sebagian penduduk telah mengungsi ke wilayah pantai selatan, membuat pemukiman baru di daerah Cisolok dan Bayah, sebagian lagi ke wilayah Timur.

Tahta kerajaan di pegang oleh Prabu Ragamulya Suryakancana, seluruh kerabat keraton mengungsi ke wilayah barat laut, tepatna di lereng Gunung Pulasari Pandeglang.
Prabu Ragamulya Suryakancana beserta pengikutnya berusaha menegakkan kembali Kerajaan Pajajaran dengan ibu kota Pulosari (dahulu ibu kota kerajaan Salakanagara). Ia bertahta tanpa mahkota, karena atribut kerajaan dipercayakan kepada Senapati Jayaperkosa beserta adik-adiknya untuk menjaga Pakuan (Sri Bima, Punta, Narayana, Madura, Suradipati).
Sulit dibayangkan, Ragamulya menghindari serangan Banten justru membuat ibu kota kerajaan berdekatan dengan Surasowan.

Sembilan tahun  Panembahan Yusuf memegang tahta kerajaan Surasowan, barulah ia melampiaskan hasratnya untuk "membumi hanguskan" ibu kota Pakuan.   Panembahan Yusuf mengerahkan pasukan besar dari Surasowan, kemudian digabungkan dengan bala bantuan pasukan dari kerajaan Cirebon mengadakasn serangan besar-besaran ke Pakuan.

Benteng Pakuan yang kokoh dapat ditembus, lembah maut dengan hambatan perlawanan sisa-sisa laskar Pajajaran dapat dikalahkan. Seluruh isi ibu kota dibumi hanguskan termasuk keraton turun temurun sejak tahun 669 Masehi, Sri Bima-Punta-Narayana-Madura-Suradipati yang dibangun oleh Maharaja Tarusbawa telah binasa, namun empat pembersar Pajajaran yaitu Senapati Jayaperkosa beserta adik-adiknya berhasil meloloskan diri, meninggalkan Pakuan menuju Sumedang Larang.
Setelah berhasil di Pakuan kemudian serangan menuju Pulasari, Prabu Ragamulya beserta seluruh pengikutnya binasa tanpa ada yang tersisa.

Pajajaran sirna ing bhumi ing ekadaci cuklapaksa wesakhamassa saharsa limangatus punjul siki ikang cakakala.
"Pajajaran lenyap dari muka bumi tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka" bertepatan dengan tanggal 11 Rabiul'awal 987 Hijriah, atau tanggal 8 Mei 1579 Masehi.

Sumber : Sejarah Jawa Barat
 

No comments:

Post a Comment