Monday 12 March 2012

Kerajaan Sumedang Larang

Terimakasih atas kunjungan anda



Resi Adji Putih diutus oleh Prabu Suryadewata putra Prabu Ajiguna Linggawisesa raja Kerajaan Sunda untuk menyebarkan ajarannya di wilayah Gunung Tembong. Saat itu wilayah itu terkenal dengan nama Tembong Agung. Prabu Suryadewata adalah adik dari Prabu Ragamulya Luhur Prabawa raja Sunda yang memerintah dari tahun 1340 - 1350 Masehi.
Secara perlahan pengikut Sang Resi bertambah banyak, setelah Sang Resi wafat digantikan oleh Putranya yang bernama Tajimalela. Wilayah tersebut kemudian oleh Tajimalela dijadikan negara yang diberi nama Himbar Buana namun kemudian diganti lagi menjadi Kerajaan Sumedang Larang sebagai negara bawahan Galuh;
Praburesi Tajimalela segenerasi dengan Prabu Ragamulya Luhur Prabawa yang saat itu menjabat sebagai Raja Galuh dan Sunda tahun 1340 - 1350 Masehi.
Setelah Praburesi Tajimalela wafat digantikan oleh putranya yang bernama Atmabra yang dikenal dengan julukan Prabu Gajah Agung. Prabu Atmabrata memindahkan Ibukota kerajaan dari Gunung Tembong ke daerah Cicanting.
Setelah wafat Prabu Gajah Agung digantikan oleh putranya yang bernama Prabu Wirajaya yang kemudian dikenal dengan nama Sunan Pagulingan. Prabu Wirajaya memindahkan Ibukota Kerajaan dari Cicanting ke Pameungpeuk. Putri sulung Sunan Pagulingan yaitu Ratu Ratnasih atau Nyi Rajamantri diperistri Jayadewata atau Sri Baduga dari Pajajaran. Sehingga yang naik tahta di kerajaan Sumedang Larang adalah adik Ratu Ratnasih yang bernama Mertalaya menggantikan kedudukan ayahnya menjadi penguasa Sumedang Larang ke empat dengan gelar Sunan Guling.
Setelah Sunan Guling wafat, digantikan oleh putranya yang bernama Tirtakusuma atau Sunan Patuakan sabagai raja Sumedang Larang ke-lima. Kemudian ia digantikan oleh putri sulungnya yang bernama Ratu Sintawati atau Nyi Mas Patuakan atau Nyi Mas Ratu Inten Dewata. Nyi Mas Patuakan diperistri oleh Sunan Corenda atau Batara Sakawayana Raja Talaga putra dari Ratu Simbarkancan dan Kusumalaya (putra Prabu Dewa Niskala Galuh). Sunan Corenda memiliki dua istri, satunya lagi bernama Mayangsari putri Prabu Langlangbuana dari Kuningan. Dari Mayangsari mempunyai putri bernama Ratu Wulansari atau Ratu Parung yang diperistri oleh Rangga Mantri atau Sunan Parung Gangsa (Pucuk Umum Talaga) putra Prabu Munding Surya Ageung Raja Talaga.
Dari Sintawati mempunyai putri bernama Ratu Satyasih yang kemudian menjadi penguasa Sumedang Larang.
Tahun 1529 Masehi pada masa pemerintahan Ratu Satyasih, agama islam mulai menyebar di Sumedang Larang. Yang disebarkan oleh Maulana Muhamad (Pangeran Palakaran) putra dari Maulana Abdurahman (Pangeran Panjunan).
Pada tahun 1504 Masehi, Pangeran Palakaran menikah dengan putri Sindangkasih dan mempunyai putra bernama Ki Gedeng Sumedang atau Pangeran Santri. Kemudian Pangeran Santri menikah dengan Ratu Satyasih dan menjadi penguasa Sumedang Larang. Dinobatkan pada tanggal 21 Oktober 1530 Masehi.
Pangeran Santri merupakan Raja Sumedang Larang pertama yang menganut agama islam. Pangeran Santri wafat pada tanggal 2 Oktober 1578 Masehi dan dimakamkan di Dayeuh Luhur.
Setelah wafat, digantikan oleh putranya yang bernama Angkawijaya. Pangeran Angkawijaya dinobatkan jadi raja Sumedang Larang pada tanggal 18 Nopember 1580 Masehi dengan gelar Geusan Ulun Sumedanglarang.


Pernikahan Geusan Ulun dan Harisbaya.
Menurut Pustaka Nagara Kretabhumi parwa 1 sarga 2 halaman 70, peristiwa Harisbaya terjadi pada tahun 1507 Saka atau 1585 Masehi. Panembahan Ratu dan Angkawija sama-sama berguru pada Hadiwijaya raja Pajang, begitu pula dengan Harisbaya yang berasal dari sampang Madura, ia dipungut anak oleh Arya Pengiri raja Pajang sebelum dijatuhkan oleh Hadiwijaya.Panembahan Ratu lebih dulu berada di Pajang dari pada Angkawijaya. Bahkan diceritakan yang menikahkan Harisbaya pada Panembahan Ratu adalah Arya Pengiri, sebagai hadiah atas kesetiaan Panembahan Ratu. Karena pernikahan tersebut bersifat paksaan belum tentu Harisbaya mencitainya. Sebelum menikahi Harisbaya, Panembahan Ratu sudah menikah dengan Lampok Angroros atau Kanjeng Ratu Pajang yang berstatus sebagai permaisuri, putri Prabu Arya Pangiri. Dan ternyata Harisbaya lebih mencitai Geusan Ulun. Panembahan Ratu adalah putra Syarif Hidayatullah, dengan unsur politis Syarif Hidayatullah mengirimkan putranya ke Pajang untuk belajar ilmu ke tatanegaraan begitu pula dengan Geusan Ulun.


Keris Panunggul Naga dengan hiasan berlian milik Ratu Satyasih yang diwariskan kepada Prabu Geusan Ulun
Setelah Angkawijaya menjadi raja Sumedang Larang, Harisbaya meninggalkan Panembahan Ratu. Saat itu hampir terjadi perang antara Cirebon - Sumedang, apalagi Sumedang kedatangan empat pembesar Pajajaran yang mengabdi pada Geusan Ulun setelah Pajajaran runtuh. Para pembesar itu adalah  Jaya Perkosa,  Wiradjaya, Kondang Hapa dan Pancar Buana.
Namun peristiwa Harisbaya ditempuh dengan jalan damai, surat talak dari Panembahan Ratu pada Harisbaya oleh Geusan Ulun ditukar dengan wilayah Sindangkasih (Majalengka) diberikan pada Cirebon.
Pernikahan Geusan Ulun dengan Harisbaya terjadi pada tangal 2 bagian terang bulan Waisaka tahun 1509 Saka atau 10 April 1587 Masehi. Selanjutnya Prabu Geusan Ulun memindahkan Ibukota kerajaan dari Kutamaya ke Dayeuh Luhur.
Prabu Geusan Ulun wafat pada tanggal 7 bagian gelap bulan Kartika tahun 1530 Saka atau 5 Nopember 1608 Masehi.


Sumber : Sejarah Jawa Barat


No comments:

Post a Comment