Saturday 17 March 2012

Kerajaan Talaga (Majalengka)


Terimakasih atas kunjungan anda


Patung Budha Manjuvajra Talaga

Prabu Ajiguna Linggawisesa (Kerajaan Sunda) dari Permaisuri Ratu Uma Lestari, memiliki putra yaitu :
1. Ragamulya Luhur Prabawa yang menggantikan ayahnya sebagai raja Sunda, dan
2. Suryadewata.

Suryadewata karena anak ke dua tidak menggantikan kedudukan ayahnya, namun menjadi raja daerah di Galuh, karena pada saat itu Kerajaan Sunda dan Galuh bersat. Prabu Ajiguna Linggawisesa menikahi putra Prabu Citraganda raja Sunda, sedangkan ibu kota negara saat itu berada di Sunda.. Ia tewas ketika sedang berburu di dalam hutan. Oleh karena itu ia dijuluki sang mokta in (mokteng) Wanaraja. Kemungkinan hutan tersebut yang menjadi daerah Wanaraja (Garut) sekarang.
Salah seorang putra Prabu Suryadewata adalah Sudayosa, yang menganut agama Budha Mahayana aliran Sarwastiweda. Aliran Sarwastiweda adalah agama Budha yang lebih mengutamakan puji-pujian kepada Sang Budha Gautama.
Sudayosa kemudian mendirikan perguruan (padepokan) agama Budha di Gunung Bitung, di kawasan Majalengka. Oleh karena itu ia lebih dikenal dengan sebutan Batara Gunung Bitung.
Padepokan Sudayosa semakin berkembang dengan banyaknya pengikut ajaran Budha di Gunung Bitung. Setelah Sudayosa wafat digantikan oleh putranya yang bernama Darmasuci.. Karena semakin pesatnya perkembangan Gunung Bitung akhirnya Darmasuci mendirikan kerajaan bercorak Budhisme, kemudian diberi nama Talaga. Prabu Darmasuci menjadi raja pertama di Kerajaan Talaga dengan gelar Rajaguru.  Kerajaan Talaga merupakan kerajaan daerah di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda, yang berkuasa saat itu Prabu Niskala Wastu Kancana..
Dalam kegaiatan keagamaan, atas restu serta dukungan Mahaprabu Niskala Wastu Kancana, Kerajaan Talaga menjadi pusat agama Budha diseluruh Jawa Barat.

Kerajaan Budha Talaga semakin maju dan berkembang tahta kerajaan dipegang oleh Prabu Talagamanggung putra Rajaguru Darmasuci. Prabu Talagamanggung segenerasi dengan Prabu Dewa Niskala penguasa Kerajaan Galuh. Karena pada saat itu Prabu Wastu kembali memisahka Sunda - Galuh. Kerajaan Sunda diberikan kepada Prabu Susuk Tunggal putra dari Dewi Ratna Sarkati, sedangkan kerajaan Galuh diberikan kepada Prabu Dewa Niskala (Ningrat Kancana) putra dari Mayangsari (lihat Tanjeur na Juritan Jaya di Buana)
Dari permaisurinya, Prabu Talagamanggung memperoleh putra :
1. Sang Pangulah, yang hidupnya lebih tertarik mendalami keagamaan dan bertekad menjadi Bhiksu, dan
2. Simbar Kancana, yang terkenal oleh kecantikannya, sehingga diibaratkan sebagai bidadari yang
    bermukim di negeri Talaga.

Karena banyak sekali yang meminang Simbar Kancana, Prabu Talagamanggung terpaksa memutuskan bahwa putrinya disayembarakan melalui "Adu ketangkasan antar satria."
Lomba tersebut adalah :

1. hari pertama, berupa keterampilan perang tanding adu senjata : tombak, gada, pedang dan keris, sambil
    menunggang kuda.
2. hari kedua, berupa keterampilan menangkap harimau dan babi hutan yang masih liar di dalam hutan,
    dengan ketentuan siapa yang lebih banyak buruannya itulah pemenangnya.
3. hari ketiga, berupa keterampilan menggunakan panah, dengan sasaran seekor bunglon yang digantungkan
    ekornya, sehingga bunglon tersebut terus bergerak.

Pada akhir pertandingan, pemenangnya adalah seorang kesatria dari Palembang bernama Sakyawira. Ia adalah putera seorang menteri Urusan Laut Kerajaan Palembang, yang mahir dan terampil berbagai ilmu kesatriaan, serta menyenangi hidup bertualang.
Setelah menikah, Sakyawirya diangkat menjadi Patih Utama,sebagai orang ke dua di Kerajaan Talaga.
Sebagai seorang pelaut, Sakyawirya kurang memperhatikan etika budaya kerajaan pegunungan seperti Talaga. Ia kurang menyenangi kehidupan yang larut dalam nilai-nilai keagamaan seperti istrinya.
Karena Sakyawirya gemar berburu, ia berperingai kejam, tidak mengenal belas kasihan. Dengan menggunakan fasilitas sebagai Patih Utama, banyak sekali gadis-gadis desa yang menjadi korban sasaran nafsunya. Kelakuannya yang melanggar etika lama-kelamaan diketahui oleh pembesar Kerajaan.

Sakyawirya berambisi untuk menjadi raja. satu-satunya jalan adalah dengan meniadakan raja secara terselubung. Untuk mencapai tujuannya, Sakyawirya bersekutu dengan Patih Citrasinga. Ia menjanjikan jabatan Patih Utama kepada Patih Citrasingan jika telah berhasil menyingkirkan Prabu Talagamanggung.
Rencana penyingkiran prabu Talagamanggung ditugaskan kepada seorang prajurit bayangkara, Sang Centangbarang yang berasal dari Kerajaan Galuh, Sang Centangbarang menyanggupi karena diiming-iming hadiah yang sangat besar.
Ketika Centangbarang sedang bertugas kawal di sekitar keraton, ia menyelinap di kegelapan malam. Ketika Prabu Talagamanggung turun dari keraton, dengan secepat kilat menghujamkan tombak ke dada Sang Prabu. Prabu Talagamanggung mengerang kesakitan dan tewas seketika. Centangbarang segera melarikan diri dalam lindungan malam gelap gulita. Centangbarang dihujani anak panah dan tombak para penawal, akan tetapi ia selamat meloloskan diri ke dalam hutan belantara.
Untuk menghindari kecurigaan keluarga, Sakyawira segera menugaskan Patih Citrasinga dengan pasukan pengawal untuk menangkap dan membunuh si pembunuh, namun Patih Citrasinga dan pengawalnya kehilangan jejak.

Jenazah Prabu Talagamanggung dikremasi dengan upacara resmi kenegaraan. Upacara tersebut dihadiri oleh para pembesar utusan dari Kerajaan Galuh, raja-raja daerah sekitarnya, dan ribuan umat Budha Sarwastiwada Kerajan Talaga. Setelah upacara pembakaran jenazah Prabu Talagamanggung, Simbar Kancana oleh kakaknya (Bhiksu Panglurah) dinobatkan menjadi penguasa Kerajaan Talaga, pemerintahan sehari-hari dengan sendirinya dikuasai oleh Sakyawira sebagai Raja.

Setiap hari Prabu Sakyawira berburu, dengan maksud mencari persembunyian Centangbarang. Ia khawatir rahasianya dibocorkan oleh Centangbarang.

Berita tentang Prabu Talagamanggung yang dibunuh, telah sampai ke Keraton Surawisesa Galuh. Untuk melindungi Talaga sebagai kerajaan bawahannya, Prabu Dewa Niskala menugaskan putranya, Kusumalaya (Ajar Kutamangu) untuk menyelidiki Centangbarang.
Sebagai orang pusat juga sebagai cicit Mahaprabu Wastu, dengan segala kecermatan dan penyelidikan yang baik akhirnya Centangbarang berhasil ditemukan oleh Sang Kusumalaya. Centangbarang yang merasa kecewa oleh Sakyawira yang tidak menepati janjinya, bahkan berbalik mengerjanya, kemudian menceritakan maksud dan tujuan pembunuhan terhadap Prabu Talagamanggung kepada Kusumalaya.

Secara sembunyi-sembunyi Kusumalaya mempertemukan Centangbarang dengan Simbar Kancana. Setelah segalanya terungkap, di malam harinya Ratu Simbar Kancana menghampiri suaminya yang sedang tidur lelap. Dengan dendam yang tiada tara dan segenap keberanian, ia menggunakan patrem (tusuk sanggul yang tajam) yang ditikamkan ke tenggorokan suaminya berkali-kali. Sakyawira tewas seketika di tempat tidur. Malam itu juga Patih Citrasinga dan pengikutnya ditangkap oleh Senapati Raksanagara dan Mantri yudhanagara, mereka diadili dan dihukum mati.

Ratu Simba Kancana kemudian menikah dengan Kusumalaya. Dari Sakyawira, Simbara Kancana tidak memiliki keturunan. Sedangkan dari Kusumalaya ia memperoleh putra bernama Batara Sakawauana atau dikenal dengan Sunan Corenda yang kemudian menikah dengan Ratu Satyasih atau Puxuk umum dari Kerajaan Sumedang Larang. Karena sebagai putra mahkota, Sunan Corenda menggantikan tahta ayahnya juga sebagai Raja Kerajaan Sumedang Larang.
Kemudian tahta kerajaan Talaga dipegang oleh Prabu Munding Surya Ageung, setelah wafat digantikan oleh putranya bernama Prabu Rangga Mantri, permaisurinya bernama Ratu Wulansari putri Sunan Corenda dan Ratu Mayangsari dari Kerajaan Sumedang. Pada tahun 1530 Masehi, Prabu Rangga Mantri ditaklukan oleh Cirebon, lalu masuk Islam dengan status Bupati Talaga. Kemudian tahun 1538 digantikan oleh putranya bernama Sunan Wanaperih sebagai Bupati Talaga ke dua.

Demikian mengenai Kerajaan Talaga, yang disusun kisahnya berdasarkan naskah, Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa III sarga 2.

No comments:

Post a Comment