Monday 26 March 2012

Kerajaan Salakanagara


Terimakasih atas kunjungan anda



Aki Tirem atau Aki Luhur Mulya adalah seorang penghulu di  Pesisir bagian Barat wilayah Jawa Barat (kira - kira wilayah Pandeglang). Kehidupan penduduk di sini makmur, tak heran kalau wilayah ini merupakan daerah perdagangan yang subur. Diantara pedagang yang sering datang ke wilayah Aki Tirem adalah Dewawarman besera rombongannya, ia berasal dari Palawa India. Dewawarman selain berdagang  juga membantu masyarakat sekitar mengusir bajak laut yang sering mengganggu wilayah tersebut. Karena jasa-jasanya membantu masyarakat sekitar,  Dewawarman dinikahkan oleh Aki Tirem pada putrinya yang bernama Pohaci Larasati. Dewawarman dan pengikutnya tidak kembali ke negeri asalnya, mereka berkeluarga dan menetap di situ.

Sebelum Aki Tirem wafat, Aki Tirem menyerahkan kekuasaannya kepada Dewawarman. Setelah Aki Tirem wafat, daerah tersebut oleh Dewawarman dijadikan kerajaan yang diberi nama Kerajaan Salakanagara, dengan Ibukota bernama Rajatapura (kota perak) sekitar wilayah Pulasari Pandeglang. 
Adik Dewawarman yang bernama Bahadura Harigana Jayasakti diangkat menjadi raja daerah penguasa mandala Ujung Kulon. Dan adiknya yang bernama Sweta Liman Sakti dijadikan raja daerah di Tanjung Kidul dengan Ibukotanya Agrabhintapura.
Setelah menjadi raja, Dewawarman bergelar Prabu Darmalokapala Dewawarman Haji Raksa Gapura Sagara. Sedangkan istrinya Pohaci Larasati menjadi permaisuri dengan gelar Dewi Dwani Rahayu. Dewawarman menjadi Raja Salakanagara selama 38 tahun, dari tahun 130 - 168 Masehi. Setelah wafat digantikan oleh putra sulungnya menjadi Dewawarman II dengan gelar Prabu Digwijayakasa Dewawarmanputra. Ia menikah dengan putri Raja Singala (Sri Langka), memerintah dari tahun 168 - 198 Masehi.

Kemudian digantikan oleh putra sulungnya yang menjadi Dewawarman III dengan gelar Prabu Singasagara Bimayasawirya, permaisurinya berasal dari Jawa Tengah. Ia memerintah dari tahun 195 - 238 Masehi. Kemudian digantikan oleh menantunya seorang Raja Ujung Kulon bernama Darma Satyanagara menjadi Dewawarman IV yang menikahi Putri Tirta Lengkara. Ia memerintah dari tahun 238 - 252 Masehi. Dari pernikahannya dengan Tirta Lengkara, lahirlah Mahisasuramardini Warmandewi, yang dinikahi oleh Darmasatyajaya sebagai Dewawarman V. Dewawarman V gugur saat melawan bajak laut, sehingga Ratu Mahisasuramardini memerintah seorang diri sampai tahun 289 Masehi. 
Penguasa Salakanagara selanjutnya adalah Ganayanadewa, putra sulung Dewawarman V yang menjadi Dewawarman VI. Ia memerintah selama 19 tahun dari tahun 289 - 308 Masehi.

Dari pernikahannya dengan putri India, ia mempunya tiga orang putra dan tiga orang putri. Putra sulungnya yang kemudian menjadi Dewawarman VII yang bergelar Prabu Bima Digwijaya Satyaganapati, memerintah Salakanagara sampai tahun 340 Masehi. Yang kedua seorang putri bernama Salaka Kancana Warmandewi, yang menikah dengan menteri Kerajaan Gaudi (Benggala) di India bagia Timur. Putri yang ketiga bernama Kartika Candra Warmandewi, ia menikah dengan seorang Raja Muda dari negeri Yawana. Putra yang keempat bernama Gopala Jayengrana, ia menjadi menteri Kerajaan Calankayana India. Yang kelima seorang putri bernama Sri Gandari Lengkaradewi, ia menikah dengan panglima angkatan laut kerajaan Palawa di India. Yang bungsu bernama Skandamuka Dewawarman Jayasastru menjadi Senapati Salakanagara.

Putri Sulung Dewawarman VII bernama Rani Spatikarnawa Warmandewi, suaminya menjadi Dewawarman VIII dengan gelar Prabu Darmawirya Dewawarman. Ratu Rani memiliki putra dan putri. Yang Sulung seorang putri bernama Iswari Tunggal Pertiwi Warmadewi atau Dewi Manasih yang menikah dengan Resi Jayasingawarman pendiri kerajaan Tarumanagara. Yang kedua bernama Aswawarman, ia menikah dengan putri Kudungga. Yang ke tiga seorang putri bernama Dewi Indari yang diperistri oleh Maharesi Santanu pendiri Kerajaan Indraprahasta.

Saturday 24 March 2012

Penguasa Pantai Utara



SELAMAT DATANG
DI JUXUTRIEUT@BLOGSPOT.COM
                                                             TERIMAKASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA


Berbicara mengenai Penguasa Samudra Selatan atau Samudra Utara, tentu tidak akan ada habisnya. Hal ini karena banyaknya versi dari para ahli spiritual baik yang hanya ingin mengetahui maupun yang mengidolakan Sang Ratu. 
Anehnya setiap ahli spiritual memiliki nama tentang Kanjeng Ratu Kidul yang berbeda, begitu pun tentang kisahnya. Ada yang mengatakan tadinya sebagai manusia ada pula yang mengatakan sebagai golongan jin penghuni Samudra. Begitu juga tentang letak keratonnya, ada yang mengatakan di Gunung, ada juga yang mengatakan  di Laut,  Kalau dilihat dari gelar namanya "Sang penguasa pantai Selatan" lebih besar kemungkinan letak kerajaannya pun berada di Lautan.Tapi karena yang dibicarakan tentang makhluk ghaib tentu bukan hal yang mudah untuk mengetahui yang sesungguhnya.


Ratu Pantai Selatan lebih banyak dibicarakan dari pada Penguasa Pantai Utara. Apakah ada penguasa di Pantai Utara ? 
Satu versi mengatakan bahwa Penguasa Pantai Utara adalah Dewi Lanjar atau Dewi Rara Kuning. Dewi Rara Kuning adalah seorang janda muda yang cantik. Ia siang malam meratapi nasibnya, suami yang sangat ia cintai meninggal beberapa waktu setelah mereka menikah demikian ia disebut sebagai Dewi Lanjar. Ia bersumpah tidak akan menikah lagi seumur hidupnya. Lalu Dewi Lanjar bertapa di wilayah Selatan dengan maksud ingin bertemu dengan Kanjeng Ratu Kidul. Singkat cerita Dewi Lanjar di temui Sang Ratu dan diajak ke keratonnya, tubuh Dewi Lanjar menghilang. Lalu oleh Kanjeng Ratu Kidul, Dewi Lanjar ditugaskan memegang kerajaan di wilayah Pantai Utara, sebagai negara bawahan Samudra Kidul.


Menurut versi lain, Penguasa Samudra Utara adalah adik dari Kanjeng Ratu Kidul yang bernama Dewi Ayu Artiningsih atau Dewi Ayu Purnamasari. Sebelum diangkat menjadi penguasa Pantai Utara, Dewi Ayu sebagai Patih Utama Kerajaan Samudra Kidul. Dewi Ayu Purnamasari kemudian diangkat menjadi Ratu dengan gelar "Sang Penguasa Samudra Utara" dan didampingi oleh Patih utamanya yang bernama Ratu Mas  Mayasaridewi berkuasa sampai sekarang dan sebagai negara bawahan Kerajaan Samudra Selatan.
Sedangkan sebagai pengganti Ratu Ayu Artiningsih yang menjabat Patih Utama di Kerajaan Samudra Selatan adalah Ratu Dewi Andarawati. Benarkah ? Atau Mitos ? Wallahu.................


Seluruh gambar bisa saja memiliki hak cipta

Thursday 22 March 2012

Kerajaan Tarumanagara




Terimakasih atas kunjungan anda



candi jiwa dibuat pada abad ke IV

Pada tahun 279 Saka atau 348 Masehi, Maharesi Jayasingawarman yang beragama Hindu berasal dari kerluarga Calankayana India bersama pengiringnya tiba di daerah Jawa Barat. Mereka menghindari kejaran raja Samudragupta yeng terkenal kejam tidak mengenal belas kasihan terhadap musuh yang dikalahkannya. Saat itu di Jawa Barat sudah berdiri kerajaan Salakanagara, saat Maharesi dan pengiringnya tiba, yang berkuasa di Jawa Barat adalah Dewawarman VIII (Prabu Darmawirya Dewawarman suami dari Ratu Ranispatikanawa warmandewi). Setelah mendapat persetujuaan dari Prabu Dewawarman VIII, Maharesi dan pengiringnya dimukimkan di dekat Sungai Citarum. Pemukiman itu oleh Sang Maharesi diberi nama Tarumadesya atau Desa Taruma. Setelah beberapa tahun Desa Tarum menjadi besar, karena berdatangannya penduduk dari desa-desa lain. Setelah menjadi bersar, Desa Tarum menjadi negara, oleh Maharesi negara tersebut diberi nama Tarumanagara sebagai negara bawahan Salakanagara. Oleh Prabu Dewawarman VIII Maharesi dijodohkan dengan putrinya yang bernama Iswari Tunggal Pertiwi atau Dewi Minawati.
Maharesi Jayasingawarman menjadi Rajadirajaguru pertama di Tarumanagara, dengan nama abhiseka Jayasingawarman Gurudarmapurusa. Ketika mertuanya wafat, tahta kerajaan Salakanagara digantikan oleh adik iparnya menjadi Dewawarman IX. Namun pamor Salakanagara sudah memudar, dan akhirnya kerajaan Salakanagara menjadi negara bawahan Tarumanagara.

Jayasingawarman memerintah Tarumanagara selama 24 tahun, dari tahun 280-304 Saka (358-382 M) dalam usian 60 tahun, kemudian dipusarakan di tepi kali Gomati. Yang menjadi penerus tahta kerajaan Tarumanagara adalah Darmayawarman yang bergelar Rajaresi Darmayawarman-guru. Memerintah Tarumanagara selama 13 tahun, dari tahun 304-317 Saka (382-395 M). Setelah wafat dipusarakan di Candrabhaga (sang lumahing candrabhaga).
 
Penerus tahta kerajaan Tarumanagara ketiga adalah Sri Maharaja Purnawarman, ia dilahirkan pada tanggal 8 bagian gelap bulan Palguna tahun 294 Saka (16 Maret 372 Masehi). Sri Maharaja Purnawaman menjadi raja Tarumanagara pada tanggal 13 bagian terang bulan Caitra 317 Saka atau 12 Maret 395 Masehi dengan nama nobat Sri Maharaja Purnawarman Sang Iswara Digwijaya Bhima Parakrama  Suryamahapurusa Jagatpati. Lalu Sri Maharaja Purnawarman memindahkan Ibukota ke Sundhapura (Bekasi).Maharaja Purnawarman menaklukan kerajaan-kerajaan lain di Jawa Barat yang belum tunduk kepada kekuasaan Tarumanagaram, saat berperang Sri Purnawarman mengenakan baju perisai samabil menunggang Gajah.. Seperti yang dituliskan pada prasasti Kebon Kopi (Bogor) berhuruf Palawa, terjemahan menurut Prof. Vogel "(ini) dua jejak telapak kaki Airawata yang perkasa dan cemerlang, gajah kepunyaan penguasa Taruma yang membawakan kemenangan".  Sri Maharaja Purnawarman berhasil menjadikan Tarumanagara sebagai negara besar dan berkuasa di Jawa Barat. Lalu memperindah Kali Gomati, Candrabhaga, Kali Gangga di daerah Indraprahasta Cirebon, memperindah Kali Cupu di kerajaan Cupunagara dan Kali Sarasah atau Manukrawa.

prasasti Ciaruteun - Bogor berhuruf Palawa

Rakyat Tarumanagara sangat mencintai rajanya, terbukti dengan banyaknya prasasti-prasasti yang ditemukan memuji kebesaran Purnawarman dan merasa senang dibawah naungannya. Di Jawa Barat, prasati Maharaja Purnawarman paling banyak ditemukan daripada raja-raja lain yang berkuasa di Jawa Barat.
Sri Maharaja Purnawarman wafat pada tanggal 15 terang bulan Posya 356 Saka (24 Nopember 434 Masehi) memerintah selama 39 tahun, dipusarakan di tepi Kali Citarum (sang lumahing tarumanadi). Kemudian digantikan oleh putranya yang bernama Prabu Wisnuwarman. Dinobatkan pada tanggal 3 Desember 434 Masehi dengan nama abhiseka Sri Maharaja Wisnuwarman Digwijaya Tunggal Jayapati Sang Purandarasutah.

Prabu Wisnuwarman memperistri Suklawatidewi putri Prabu Wiryabanyu raja Kerajaan Indraprahasta, yang ke dua Suklawarmandewi tetapi meninggal muda dan belum mempunyai keturunan.
Pada masa pemerintahanPrabu Wisnuwarman, terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh pamannya yang bernama Cakrawarman. Cakrawarman yang menjabat Senapati Belandhika (angkatan perang) menginginkan tahta Tarumanagara, namun pemberontakannya dapat digagalkan setelah lama perang bergerilya. Pertempuran sengit antara pasukan besar Sang Cakrawarman di dalam hutan wilayah kerajaan Cupunagara. Pasukan Tarumanagara yang dibantu oleh pasukan raja-raja daerah, akhirnya dapat menumpas pasukan Cakrawarman. Sang Cakrawarman sendiri tewas ditangan Prabu Wiryabanyu raja Indraprahasta.
Pemberontakan Cakrawarman berlangsung dari tanggal 14 bagian bulan Asuji (September/Oktober) sampai  tanggal 11 bagian gelap bulan Kartika tahun 359 Saka (437 M) selama 28 hari.
Prabu Wisnuwarman memerintah dari tahun 434 - 455 masehi. Kemudian digantikan oleh putranya yang bernama Indrawarman. Ia dinobatkan dengan gelar Sri Maharaja Indrawarman Sang Paramarta Saktimahaprabawa Lingga Triwikrama Buanatala. Pemerintahannya berlangsung selama 60 tahun, dari tahun 377 - 437 Saka atau 455-515 Masehi.

Setelah Prabu Indrawarman wafat digantikan oleh putranya yang bernama Prabu Candrawarman, dengan gelar abhiseka Sri Maharaja Candrawarman Sang Hariwangsa Purusakti Suralagawagengparamarta. Ia memerintah selama 20 tahun dari tahun 515 - 535 Masehi. Setelah Prabu Candrawarman wafat digantikan oleh putranya yang bernama Prabu Suryawarman, dengan nama nobat Sri mahraja Suryawarman Sang Mahapurusa Bhimaparakrama Hariwangsa Digwijaya. Ia memerintah selama 26 tahun dari tahun 535 561 Masehi. Kemudian digantikan oleh putranya yang bernama Prabu Kretawarman dengan nama abhiseka  Sri Maharaja Kretawarman Mahapursa Hariwansa Digwijaya Sakalabumandala. Ia memerintah selama 67 tahun, dari tahun 561 - 628 Masehi. Karena tidak mempunyai keturunan, tahta kerajaan Tarumanagara diberikan kepada adiknya yang bernama Prabu Sudawarman, dengan gelar Sri Maharaja Sudawarman Mahapurusa Sang Paramartaresi Hariwangsa.

 Permaisuri Prabu Sudawarman adalah adik Prabu Mahendrawarman raja Palawa India. Pada masa pemerintahannya pamor Tarumanagara mulai menurun,
setelah wafat digantikan oleh putranya yang bernama Prabu Dewamurti yang bergelar Sri Mahraja Dewamurtyatma Hariwangsawarman Digwijaya Bimaparakarma. Watak Prabu Dewamurti berbeda dengan raja-raja sebelumnya, ia berperilaku sangat kasar dan kejam. Akhirnya ia tewas dibunuh oleh Brajagiri anak angkat Prabu Sudawarman yang merasa sakit hati oleh sikap Prabu Dewamurti. Brajagiri yang meloloskan diri dapat ditangkap oleh Prabu Nagajaya raja Cupunagara menantu Prabu Dewamurti yang menikahi Dewi Mayasari. Pada tahun 640 Masehi, Prabu Nagajaya naik tahta kerajann Tarumanagara dengan gelar Sri Maharaja Nagajayawarman Dermastya Cupujayasatru. Ia memerintah selama 26 tahun dari tahun 640-666 Masehi. 

Kemudian yang bertahta di Kerajaan Tarumanagara adalah Prabu Linggawarman putra Prabu Nagajaya, dengan gelar Sri Maharaja Linggawarman Atmahariwangsa Panunggalan Tirtabumi. Dinobatkan pada tangal 5 bagian gelap bulan Caitra tahun 588 Saka atau 1 April 666 Masehi. Permaisuri Prabu Linggawarman adalah Ganggasari putri Prabu Wisnumurti raja Indraprahasta ke 11 yang memerintah dari tahun 636-661 Masehi.

Dari perkawinannya dengan Ganggasari, memperolah putra :
1. Dewi Manasih, diperistri oleh Tarusbawa dari Kerajaan Sunda Sembawa.
2. Sobakancana, diperistri oleh Sri Jayanasa raja Sriwijaya.

Prabu Linggawarman memerintah hanya 3 tahun, pada tahun 669 digantikan oleh menantunya yang bernama Prabu Tarusbawa dengan nama abhiseka Sri Maharaja Tarusbawa Darmawaskita Manumanggalajaya Sundasembawa. Ia memerintah selama 54 tahun dari tahun 669 - 723 Masehi. Maharaja Tarusbawa merubah nama kerajaan dari Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda. (lihat Kendan Cikal Bakal Galuh).


Kerajaan Sriwijaya




Terimakasih atas kunjungan anda



Dapunta Hyang Sri Jayanasa adalah maharaja Sriwijaya pertama yang dianggap sebagai pendiri Kadatuan Sriwijaya. Namanya disebut dalam beberapa prasasti awal Sriwijaya dari akhir abad VII yang disebut sebagai "prasasti-prasasti Siddhayatra", karena menceritakan perjalanan sucinya mengalap berkah dan menaklukkan wilayah-wilayah di sekitarnya. Ia berkuasa sekitar perempat terakhir abad VII hingga awal abad VIII, tepatnya antara kurun 671 masehi hingga 702 masehi.

Biografi

Menurut I Tsing, seorang pendeta Buddha yang pernah mengunjungi Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama 6 bulan, terkesan akan kebaikan raja Sriwijaya waktu itu, dan raja tersebut kemudian dihubungkan dengan prasasti yang paling tua mengenai Sriwijaya yang juga berada pada abad ke-7, bertarikh 682 yaitu prasasti Kedukan Bukit di Palembang, merujuk kepada orang yang sama. Walaupun kemudian beberapa sejarawan berbeda pendapat tentang penafsiran dari beberapa kata yang terdapat pada prasasti tersebut.
Menurut Prasasti Kedukan Bukit berangka tahun 605 saka (683 masehi), menceritakan seorang Raja bergelar Dapunta Hyang melakukan Siddhayatra (perjalanan suci) dengan naik perahu. Ia berangkat dari Minanga Tamwan dengan membawa satu armada dengan kekuatan 20.000 bala tentara menuju ke Matajap dan menaklukan beberapa daerah. Beberapa prasasti lain yang ditemui juga menceritakan Siddhayatra dan penaklukkan wilayah sekitar oleh Sriwijaya, yaitu prasasti yang ditemukan di Kota Kapur di Pulau Bangka (686 masehi), Karang Brahi di Jambi Hulu (686 masehi) dan Palas Pasemah di selatan Lampung, semua menceritakan peristiwa yang sama. Dari keterangan prasasti-prasasti ini, dapat disimpulkan bahwa Dapunta Hyang mendirikan Kerajaan Sriwijaya setelah mengalahkan musuh-musuhnya di Jambi, Palembang, Selatan Lampung dan Pulau Bangka, dan bahkan melancarkan serangan ke Bhumi Jawa, kecuali kerajaan Kalingga, yang berkuasa saat itu Ratu Maharani Sima. Permaisuri Sri Jayanasa adalah putri Prabu Linggawarman raja Tarumanagara bernama  Sobakancana adik dari Ratu Manasih  istri Maharaja Tarusbawa raja Sunda.


Nama dan asal-usul

Dapunta Hyang dipercayai sebagai suatu gelar penguasa yang dipakai maharaja Sriwijaya periode awal. Gelar Dapunta juga ditemukan dalam Prasasti Sojomerto yang ditemukan di daerah Batang, pesisir utara Jawa Tengah, yaitu Dapunta Selendra yang dipercaya sebagai nama leluhur wangsa Sailendra. Istilah Hyang sendiri dalam kebudayaan asli Nusantara merujuk kepada keberadaan spiritual supernatural tak kasat mata yang dikaitkan dengan roh leluhur atau dewata, sehingga diduga Dapunta Hyang melakukan perjalanan "mengalap berkah" untuk memperoleh kekuatan spiritual atau kesaktian. Kesaktian ini ditambah dengan kekuatan bala tentaranya, dijadikan sebagai legitimasi untuk menaklukkan daerah-daerah atau kerajaan-kerajaan di sekitarnya. Kekuatan spiritual ini pula yang menjadikan persumpahan Dapunta Hyang dianggap bertuah dan ditakuti para datu (penguasa daerah) bawahannya, yang kebanyakan diikat kesetiaannya kepada Sriwijaya dalam suatu prasasti dan upacara persumpahan disertai kutukan bagi siapa saja yang mengkhianati Sriwijaya.
Slamet Muljana mengaitkan Dapunta Hyang di dalam Prasati Kedukan Bukit sebagai "Sri Jayanasa", karena menurut Prasasti Talang Tuwo yang berangka tahun 684 masehi, Maharaja Sriwijaya ketika itu adalah Sri Jayanasa. Karena jarak tahun antara kedua prasati ini hanya setahun, maka kemungkinan besar "Dapunta Hyang" di dalam Prasasti Kedukan Bukit dan "Sri Jayanasa" dalam Prasasti Talang Tuwo adalah orang yang sama.
Asal-usul Raja Jayanasa dan letak sebenarnya dari Minanga Tamwan masih diperdebatkan ahli sejarah. Karena kesamaan bunyinya, ada yang berpendapat Minanga Tamwan adalah sama dengan Minangkabau, yakni wilayah pegunungan di hulu sungai Batanhari. Sementara Soekmono berpendapat Minanga Tamwan bermakna pertemuan dua sungai (Tamwan berarti temuan), yakni sungai Kampar kanan dan sungai Kampar kiri di Riau, yakni wilayah sekitar Candi Muara Takus. Pendapat lain menduga armada yang dipimpin Jayanasa ini berasal dari luar Sumatra, yakni dari Semenanjung Malaya. =wikipedia=

Prasasti Mantyasih

Terimakasih atas kunjungan anda




Prasasti Mantyasih atau prasasti Balitung adalh prasati berangka tahun 907 M yang berasal dari Wangsa Sanjaya, kerajaan Mataram Kuno. Prasasti ini ditemukan di kampung Mateseh, Magelang Utara, Jawa Tengah dan memuat daftar silsilah raja-raja Mataram sebelum Raja Balitung. Prasasti ini dibuat sebagai upaya melegitimasi Balitung sebagai pewaris tahta yang sah, sehingga menyebutkan raja-raja sebelumnya yang berdaulat penuh atas wilayah kerajaan Mataram Kuno.
Dalam prasasti juga disebutkan bahwa desa Mantyasih yang ditetapkan Balitung sebagai desa perdikan  (daerah bebas pajak). Di kampung Meteseh saat ini masih terdapat sebuah lumpang batu, yang diyakini sebagai tempat upacara penetapan sima atau desa perdikan. Selain itu disebutkan pula tentang keberadaan Gunung Susundara dan Wukir Sumbing (sekarang Gunung Sindoro dan Sumbing ).
Kata "Mantyasih" sendiri dapat diartikan "beriman dalam cinta kasih".

Prasasti ini bertarikh 828 Saka, bagian yang memuat silsilah raja adalah pada bagian B baris 7-9:
  • ta < 7 > sak rahyang ta rumuhun. sirangbăsa ing wanua. sang mangdyan kahyaňan. sang magawai kadatwan. sang magalagah pomahan. sang tomanggöng susuk. sang tumkeng wanua gana kandi landap nyan paka çapatha kamu. rahyang
  • < 8 > ta rumuhun. ri mdang. ri poh pitu. rakai mataram. sang ratu sańjaya. çri mahǎrǎja rakai panangkaran. çri mahǎrǎja rakai panunggalan. çri mahǎrǎja rakai warak. çri mahǎrǎja rakai garung. çri mahǎrǎja rakai pikatan
  • < 9 > çri mahǎrǎja rakai kayuwańi. çri mahǎrǎja rakai watuhumalang. lwiha sangkā rikā landap nyān paka çapatha çri mahǎrǎja rakai watukura dyah dharmmodaya mahāçambhu.


Penafsiran prasasti
Bosch dalam karyanya Sriwijaya, de Sailendrawamsa en de Sanjayawamsa (1952) berpendapat bahwa di Kerajaan Medang dua dinasti yaitu Wangsa Sanjaya dan Wangsa Sailendra sama-sama berkuasa. Wangsa Sanjaya didirikan oleh Sanjaya, pendiri Kerajaan Medang yang beragama Hindu Siwa. Maharaja selanjutnya ialah Rakai Panangkaran, yang menurutnya dikalahkan oleh Wangsa Sailendra. Maka di Medang terdapat Wangsa Sanjaya berkuasa di utara Jawa dan Wangsa Sailendra berkuasa di selatan Jawa. Namun Putri Maharaja Samaratungga dari Wangsa Sailendra yang bernama Pramo-dawardhani menikah dengan Rakai Pikatan dari Wangsa Sanjaya, yang kemudian mewarisi takhta mertuanya dan Wangsa Sanjaya pun berkuasa kembali di Medang. Bosch berasumsi bahwa gelar rakai adalah nama silsilah wangsa. Daftar silsilah raja-raja Wangsa Sanjaya berdasarkan prasasti Mantyasih menurut Bosch, adalah:
  • Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya,
  • Sri Maharaja Rakai Panangkaran,
  • Sri Maharaja Rakai Panunggalan,
  • Sri Maharaja Rakai Warak,
  • Sri Maharaja Rakai Garung,
  • Sri Maharaja Rakai Pikatan,
  • Sri Maharaja Rakai Kayuwangi,
  • Sri Maharaja Rakai Watuhumalang, dan
  • Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Dharmmodaya Mahasambhu.
Pendapat berbeda diberikan oleh Slametmuljan. Ia berpendapat daftar tersebut bukanlah silsilah Wangsa Sanjaya, melainkan daftar raja-raja yang pernah berkuasa di Kerajaan Medang. Gelar Rakai menurutnya berarti penguasa atau pejabat di daerah atau raja bawahan yang masih mempunyai hubungan keluarga dengan maharaja yang masih bertahta. Ia pun memperbandingkan isi prasasti Mantyasih dengan prasasti Kelurak, prasasti Kayumwungan, prasasti Siwagraha, dan prasati Nalanda. dan berpendapat bahwa Rakai Panangkaran, Rakai Panunggalan, Rakai Warak, dan Rakai Garung adalah dari Wangsa Sailendra, karena Maharaja Rakai Panangkaran Dyah Pancapana sendiri bergelar Sailendrawamsatilaka (artinya "permata Wangsa Sailendra").                                         =wikipedia=


Wednesday 21 March 2012

Tari Bali Pujasanti

Terimakasih atas kunjungan anda



Tari Puspanjali - Bali

Terimakasih atas kunjungan anda



SANG MANARAH KSATRIA GEGER SUNTEN

SELAMAT DATANG
DI JUXUTRIEUT@BLOGSPOT.COM
                                                             

TERIMAKASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA
                                               
Keraton Galuh bergejolak dengan dua kali pertumpahan darah, tahun 716 M Prabu Bratasenawa putra Prabu Mandiminyak yang direbut secara paksa oleh saudara se-ibunya yaitu Purbasora yang menghendaki tahta Kerajaan Galuh.
Dan pada tahu 723 M, kembali terjadi perang saudara. Prabu Purbasora tewas di tangan Maharaja Sanjaya putra dari Prabu Bratasenawa sebagai aksi balas dendam. Maharaja Sanjaya adalah sebagai ahli waris tahta Kerajaan Bumi Mataram, Kerajaan Sunda dan Galuh.

Tahun 723 Masehi, Premana Dikusuma diangkat menjadi raja Galuh oleh Maharaja Sanjaya sebagai wakil dirinya, karena merupakan cucu dari Prabu Purbasora sebagai keluarga keraton Galuh. Sedangkan yang mewakili dirinya di Kerajaan Sunda dipercayakan kepada putranya yang bernama Barmawijaya. Premana Dikusuma (Ajar Sukaresi) seorang pertapa, ia berjodoh dengan Dewi Naganingrum dan berputra Sang Manarah. Setelah naik tahta Maharaja Sanjaya menjodohkan Premana Dikusuma dengan Dewi Pangrenyep putri Patih Anggada, yang diharapkan oleh Sanjaya, agar Premana Dikusuma setia kepadanya.
Prabu Premana Dikusuma, seorang yang alim dan gemar bertapa, pernikahan tersebut merupakan sebuah pukulan bagi dirinya. Akhirnya Premana Dikusuma pergi bertapa di hutan Gunung Padang sebelah Timur Citarum, urusan pemerintahan diserahkan pada Patihnya.

Dewi Pangrenyep yang masih muda belia merasa kecewa dengan sikap suaminya. Ia merasa asing berada di Keraton Galuh, keluarga keraton Galuh tidak menyenangi dirinya karena peristiwa kematian Prabu Purbasora.
Keselamatan dirinya hanya terjamin oleh Prabu Barmawijaya dan prajurit Sunda yang melindunginya.

Prabu Barmawijaya belum memiliki permaisuri, sebetulnya ia menghendaki Dewi Pangrenyep menjadi Permaisurinya, karena mereka berdua sama-sama dilahirkan dan dibesarkan di keraton Pakuan. Ia pun merasa kecewa Dewi Pangrenyep ditikahkan pada Premana Dikusuma oleh ayahnya.
Kepergian Premana Dikusuma untuk bertapa, dimanfaatkan oleh Barmawijaya dan Dewi Pangrenyep untuk saling bertemu dan akhirnya mereka memiliki putra yang diberi nama Sang Banga. Hal ini kembali membuat geger keraton Galuh setelah kejadian antara Mandiminyak dan Pohaci Rababu kakak iparnya (kakek buyutnya Barmawijaya). Dewi Pangrenyep semakin tidak disukai oleh keluarga keraton Galuh. Prabu Barmawijaya berniat menikahi Dewi Pangrenyep, namun Dewi Pangrenyep masih menjadi istri Premana Dikusuma.

Untuk menyelesaikan "ganjalannya", Prabu Barmawijaya menugaskan seorang prajurit kepercayaannya untuk membunuh Premana Dikusuma (Ajar Sukaresi) di pertapaannya. Sang prajurit pergi seorang diri dengan cara rahasia dan berhasil nunaikan perintah rajanya. Dengan lega prajurit keluar dari pertapaan. namun ia terkejut saat dihadang pasukan pengawal, ia dibinasakan oleh pengawal raja Barmawijaya.

Berita terbunuhnya Premana Dikusuma cepat tersebar di keraton Galuh, karena sengaja disebarkan. Dan dikatakan bahwa pembunuhnya telah ditangkap dan diadili oleh Prabu Barmawijaya, dengan demikian ia berjasa atas keraton Galuh. Karena jasanya itu, Barmawijaya berhasil memperistri Dewi Naganingrum dan Dewi Pangrenyep juga berkuasa atas tahta Sunda dan Galuh. Namun musibah tersebut membuat Sang Manarah sangat berduka, saat peristiwa itu berlangsung usia Sang Manarah 14 tahun.

Terbunuhnya Premana Dikusuma, tercium oleh Senapati tua Bimaraksa yang bermukim di Geger Sunten, yang dikenal sehari-hari sebagai Ki Balangantrang. Saat terjadi peristiwa Sanjaya - Bunisora, senapati Bimaraksa berhasil meloloskan diri dan bersembunyi di Geger Sunten. Lokasi sekarang adalah Kampung Sodong, Desa Tambaksari, Kecamatan Ranca Kabupaten Garut.
Sebagai mantan senapati Galuh, yang juga sebagai cucu Sang Wretikandayun pendiri Galuh, Bimaraksa mudah mendapatkan pengikut dan pendukung, terutama tokoh-tokoh yang luput dari pembinasaan Sanjaya. Ia juga berhasil menghubungi Sang Manarah (cicitnya) secara rahasia.

Sang Manarah setelah mengetahui kejadian tersebut bertekad untuk membalas dendam atas kematian ayahnya. Gerakan Sang Manarah yang menyamar menjadi satri Ciung Wanara, oleh Ki Balangantrang diatur dan dijaga kerahasiannya. Dalam jangka 6 tahun gerakan partisan Geger Sunten telah terhimpun kuat, tanpa diketahui oleh Barmawijaya. Sebagai putera pendeta Ajar Sukaresi, Sang Manarah pandai menyembunyikan perasaan dihadapan ayah tirinya.

Ki Balangantrang mendapat sumbangan pasukan dari raja-raja daerah bawahan Kerajaan Saunggalah, terutama dari bekas daerah kekuasaan Tritunggal : Pandawa-Wulan-Tumanggal.
Taktik strategi yang dipilih oleh Ki Balangantrang untuk menyerang Ibukota Galuh, bertepatan dengan pesta sabung ayam sebagai tradisi tahunan kegemaran Prabu Barmawijaya.
Yang menyiapkan senjata untuk pasukan Geger Sunten adalah Ki Anjali seorang Pandai Omas di Ibukota, sehingga saata Pesta Sabung Ayam prajurit Geger Sunten berbaur dengan rakyat biasa tanpa senjata, mereka hanya membawa ayam.

Dalam suasana hiruk pikuk pesta sabung ayam, Sang Manarah beserta pasukannya menyergap dipanyawungan.  Semua Pembesar dan pasukan bayangkara yang sedang menonton disergap secara tiba- tiba. Hanya dalam waktu setengah hari, Sang Manarah dan pasukannya berhasil menguasai keraton Galuh. Prabu Barmawijaya dan Dewi Pangrenyep ditangkap dipenjara dalam kurungan jeruji besi. Sedangkan Sang Banga yang tidak tahu apa-apa segera dilepaskan, dibebaskan berbuat apapun seperti biasanya, hanya satu hal yang tidak boleh dilakukan tentang ayah ibu-nya.

Sang Banga yang sudah berusia 15 tahun, merasa bimbang. Apalah arti kebebasan bagi dirinya kalau ayah ibunya menderita dipenjara sebagi tawanan. Suatu malam Sang Banga nekad melepaskan kedua orang tuanya, dengan melumpuhkan para penjaga terlebih dahulu. Sang Banga berhasil melepaskan kedua orang tuanya untuk melarikan diri menuju Keraton Bumi Mataram.
Namun kejadiaan tersebut segera diketahui, akhirnya adik kakak saling berhadapan antara Sang Banga dengan Sang Manarah. Sang Manarah yang begitu menyayangi adik tirinya berusaha menangkap tanpa meluakinya. Setelah lama pertarungan kedua satria Sunda itu akhirnya Sang Banga dapat dikalahkan tanpa terluka. Sementara Tamperan Barmawijaya dan istrinya yang lari dikegelapan malam terus dikejar pengawal kerajaan serta dihujani anak panah.   Akhirnya Raja dan Ratu yang akrab sejak kecil tewas bersimbah darah jauh dari Pakuan tempat mereka dilahirkan.

Peristiwa kematian Tamperan Barmawijaya akhirnya sampai ke Bumi Mataram, alangkah murkanya Maharaja Sanjaya mendengar peristiwa tersebut. Dengan mengerahkan angkatan perang  yang besar Maharaja Sanjaya bergerak dari Medang Bumi Mataram menuju purasaba Galuh. Namun Sang Manarah telah memperhitungkan kemungkinan tersebut dan mengerahkan seluruh pasukan Galuh diperbatasan. Dua keturunan Wretikandayun sudah saling berhadapan, masing-masing mengerahkan angkatan perangnya. Akhirnya gotrayudha (perang saudara) yang sangat dasyat pecah kembali. Perang berlangsung beberapa hari namun belum menunjukkan ada yang kalah dan menang. Akhirnya Resiguru Demunawan dengan pengiringnya barisan pendeta turun dari Saung Galah menuju palagan (medan perang) Galuh. Dengan wibawanya yang besar sebagai tokoh tertua Galuh yang masih hidup, Resiguru Demunawan berhasih menghentikan pertempuran sehingga terjadi gencatan senjata.

Dalam usia 93 tahun Resiguru Demunawan kelahiran Kabuyutan Gunung Galunggung memimpin perundingan perjanjian antara Sanjaya dan Manarah di keraton Galuh. Hasil perjanjian tersebut : 
     1.     Kerajaan Sunda dengan  dirajai oleh Sang Banga alias Kamarasa dengan gelar Prabu kretabuana Yasawiguna Ajimulya, dengan batas Negara dari Sungai Citarum ke Barat.
      2. Kerajaan Galuh dirajai oleh Sang Manarah alias Surotama dengan gelar Prabu Jayaprakosa Mandaleswara Salakabuana.

Manarah menikahi Kancana Wangi, sedangkan Banga menikahi Dewi Kancana Sari, kedua putri tersebut adalah cicit Resiguru Demunawan putrinya Prabu Kretananggala (Raja Saunggalah) dan Patih Tambawesi. Dengan perjodohan itu, maka berbaurlah darah Sunda-Galuh dan Saung Galah.




Tuesday 20 March 2012

Russian Belly Dancer - Aliya Kurbanova

Terimakasih atas kunjungan anda


Bah Dadeng - Papatong

Terimakasih atas kunjungan anda


Kakawin Nagarakretagama

Terimakasih atas kunjungan anda




Naskah ini merupakan naskah Jawa Kuno yang ditulis oleh Empu Praparica pada tahun 1365.
Kakawin ini menguraikan keadaan di Keraton Majapahit dalam masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk, raja agung di tanah Jawa dan juga Nusantaral  Ia bertakhta dari tahun 1350 sampai 1389 Masehi, pada masa puncak kerajaan Majapahit, salah satu kerajaan terbesar yang pernah ada di Nusantara.  Bagian terpenting teks ini tentu saja menguraikan daerah-daerah wilayah kerajaan Majapahit yang harus menghaturkan upeti.

Naskah kakawin ini terdiri dari 98 pupuh. Dilihat dari sudut isinya pembagian pupuh-pupuh ini sudah dilakukan dengan sangat rapi. Pupuh 1 sampai dengan pupuh 7 menguraikan raja dan keluarganya. Pupuh 8 sampai 16 menguraikan tentang kota dan wilayah Majapahit. Pupuh 17 sampai 39 menguraikan perjalanan keliling ke Lumajang. Pupuh 40 sampai 49 menguraikan silsilah Raja Hayam Wuruk, dengan rincian lebih detailnya pupuh 40 sampai 44 tentang sejarah raja-raja Singasari, pupuh 45 sampai 49 tentang sejarah raja-raja Majapahit dari Kertarajsa jayawardhana sampai Hayam Wuruk. Pupuh 1 - 49 merupakan bagian pertama dari naskah ini.

Bagian kedua dari naskah kakawin ini yang juga terdiri dari 49 pupuh, terbagi dalam uraian sebagai berikut: Pupuh 50 sampai 54 menguraikan kisah raja Hayam Wuruk yang sedang berburu di hutan Nandawa. Pupuh 55 sampai 59 menguraikan kisah perjalanan pulang ke Majapahit. Pupuh 60 menguraikan oleh-oleh yang dibawa pulang dari pelbagai daerah yang dikunjungi. Pupuh 61 sampai 70 menguraikan perhatian Raja Hayam Wuruk kepada leluhurnya berupa pesta srada dan ziarah ke makam candi. Pupuh 71 sampai 72 menguraikan tentang berita kematian Patih Gajah Mada. Pupuh 73 sampai 82 menguraikan tentang bangunan suci yang terdapat di Jawa dan Bali. Pupuh 83 sampai 91 menguraikan tentang upacara berkala yang berulang kembali setiap tahun di Majapahit, yakni musyawarah, kirap, dan pesta tahunan. Pupuh 92 sampai 94 tentang pujian para pujangga termasuk prapanca kepada Raja Hayam Wuruk. Sedangkan pupuh ke 95 sampai 98 khusus menguraikan tentang pujangga prapanca yang menulis naskah tersebut.

Kakawin ini bersifat pujasastra, artinya karya sastra menyanjung dan mengagung-agungkan Raja Majapahit Hayam Wuruk serta kewibawaan kerajaan Majapahit. Akan tetapi karya ini bukanlah disusun atas perintah Hayam Wuruk sendiri dengan tujuan untuk politik pencitraan diri ataupun legitimasi kekuasaan. Melainkan murni kehendak sang pujangga Mpu Prapanca yang ingin menghaturkan bhakti kepada sang mahkota, serta berharap agar sang Raja ingat sang pujangga yang dulu pernah berbakti di keraton Majapahit. Artinya naskah ini disusun setelah Prapanca pensiun dan mengundurkan diri dari istana. Nama Prapanca sendiri merupakan nama pena, nama samaran untuk menyembunyikan identitas sebenarnya dari penulis sastra ini. Karena bersifat pujasastra, hanya hal-hal yang baik yang dituliskan, hal-hal yang kurang memberikan sumbangan bagi kewibawaan Majapahit, meskipun mungkin diketahui oleh sang pujangga, dilewatkan begitu saja. Karena hal inilah peristiwa Pasundan Bubat tidak disebutkan dalam Negarakretagama, meskipun itu adalah peristiwa bersejarah, karena insiden itu menyakiti hati Hayam Wuruk. Karena sifat pujasastra inilah oleh sementara pihak Negarakretagama dikritik kurang netral dan cenderung membesar-besarkan kewibawaan Hayam Wuruk dan Majapahit, akan tetapi terlepas dari itu, Negarakretagama dianggap sangat berharga karena memberikan catatan dan laporan langsung mengenai kehidupan di Majapahit.
Judul kakawin ini, Nagarakretagama artinya adalah "Negara dengan Tradisi (agama) yang suci. Nama Nagarakretagama itu sendiri tidak terdapat dalam kakawin Nagarakretagama. Pada pupuh 94/2, Prapanca menyebut ciptaannya Deçawarnana atau uraian tentang desa-desa. Namun, nama yang diberikan oleh pengarangnya tersebut terbukti telah dilupakan oleh umum. Kakawin itu hingga sekarang biasa disebut sebagai Nagarakretagama. Nama Nagarakretagama tercantum pada kolofon  terbitan Dr.J.L.A.Brandes : Iti Nagarakretagama Samapta. Rupanya, nama Nagarakretagama adalah tambahan penyalin Arthapamasah pada bulan Kartika tahun saka 1662 (20 Oktober 1740 Masehi). Nagarakretagama disalin dengan huruf Bali di Kancana.

Naskah ini selesai ditulis pada bulan Aswina tahun Saka 1287 (September – Oktober 1365 Masehi), penulisnya menggunakan nama samaran Prapanca, berdasarkan hasil analisis kesejarahan yang telah dilakukan diketahui bahwa penulis naskah ini adalah Dang Acarya Nadendra , bekas pembesar urusan agama Buddha di istana Majapahit. Beliau adalah putera dari seorang pejabat istana di Majapahit dengan pangkat jabatan Dharmadyaksa Kasogatan. Penulis naskah ini menyelesaikan naskah kakawin Negarakretagama diusia senja dalam pertapaan di lereng gunung di sebuah desa bernama Kamalasana. Hingga sekarang umumnya diketahui bahwa pujangga Prapanca adalah penulis Nagarakretagama.


Nining Meida - Talaga Reumis

Terimakasih atas kunjungan anda



Kerajaan Galuh


Terimakasih atas kunjungan anda


prasati astana gede 

Pada ulasan terdahulu "Kendan Cikal Bakal Galuh" diterangkan bahwa Rajaresiguru Wretikandayun memerdekan kerajaan Kendan dari Tarumanagara, pada tahun 669 Masehi dan merubah Kendan menjadi Kerajaan Galuh dengan Ibukota Kawali. Praburesiguru Wretikandayun menjadi raja pertama di Kerajaan Galuh, memerintah sampai tahun 702 Masehi dalam usia 111 tahun. Setelah wafat digantikan oleh putranya yang ke tiga bernama Amara atau Mandiminyak Prabu Mandiminyak sebelum naik tahta di Kerajaan Galuh, sedang berkuasa di Kerajaan Kalingga mewarisi tahta ibu mertuanya dari Parwati (Putri Ratu Maharani Sima, yang wafat pada tahun 695 Masehi). Sebelum wafat, Ratu Sima membagi dua Kerajaan Kalingga.
1. Parwati, memperoleh bagian Utara yang disebut Bumi Mataram (695-716 M) dan
2. Narayana, memperoleh bagian Selatan dan Timur yang disebut Bumi Sambara, ia bergelar Iswarakesawa Lingga Jagatnata Buwanatala (679 - 742 Masehi.

Dengan permaisuri Parwati, Prabu Mandiminyak memiliki seorang putri bernama Sanaha, sebelum menikah dengan Parwati, Mandiminyak memiliki putra bernama Sena atau Bratasenawa hasil hubungan gelap dengan kakak iparnya (Pohaci Rababu). Setelah kedua putranya dewasa dinikahkan, antara Sena dan Sanaha (saudara lain ibu) atau disebut kawin Manu.
Tahun 702 Prabu Mandiminyak pulang ke Galuh untuk menggantikan tahta ayahnya, sedangkan untuk pemerintahan di Bumi Mataram dijalankan oleh istrinya yaitu Ratu Parwati. Prabu Mandiminyak berkuasa di Kerajaan Galuh sampai tahun 709 Masehi. Kemudian digantikan oleh putranya bernama Bratasenawa.
Permaisuri Prabu Bratasenawa bernama Ratu Sanaha, dari hasil penikahannya memperoleh putra bernama Sanjaya.

Prabu Bratasenawa memerintah Kerajaan Galuh sampai tahun 716, karena digulingkan oleh Purbasora putra Sempakwaja dari Kerajaan Galunggung. Bunisora merasa lebih hak dengan tahta Galuh daripada Sena (saudara se ibu-nya lain ayah, hasil fair dengan Mandiminyak). Prabu Bratasenawa tewas ditangan Purbasora yang dibantu oleh Ayah mertuanya (Prabu Darmahariwangsa Kerajaan Indraprahasta) yang mengerahkan angkatan perangnya.
Tahun 716, Prabu Purbasora naik tahta di Kerajaan Galuh dalam usia 73 tahun sampai tahun 723 Masehi bersama permaisuri yang bernama Citra Kirana.
Prabu Purbasora tewas di tangan Sanjaya putra Prabu Bratasenawa dan Sanaha. Sanjaya menuntut balas atas kematian kedua orang tuanya. Setelah Prabu Purbasora wafat Sanjaya naik tahta di Kerajaan Galuh dengan permaisuri Sekar Kancana yang bergelar Teja Kancana Ayu Purnawangi (cucu Prabu Tarusbawa). Gelar abhiseka Prabu Sanjaya adalah Maharaja Harisdarma Bimaparakrama Prabu Maheswara Sarwajitasatru Yudapumajaya.

Sebelum kembali ke Bumi Mataram, Maharaja Sanjaya yang menguasai Kerajaan Galuh-Sunda dan Bumi Mataram, menguasakan Kerajaan Sunda kepada putranya yang bernama Barmawijaya 732 M. Sedangkan tahta Kerajaan Galuh dikuasakan kepada cucu Purbasora yang bernama Premana Dikusuma 732 M.

Prabu Premana Dikusuma terkenal sebagai seorang pertapa, ia dijuluki Ajar Sukaresi atau Bagawat Sajala- jala. Ia menikahi Dewi Naganingrum cucu Patih Bimaraksa. Dengan permaisuri Dewi Naganingrum ia berputra Surotama alias Manarah yang lahir pada tahun 718 M. Juga menikahi Dewi Panrenyep putri Patih Anggada. Dewi Pangrenyep lahir pada tahu 704 Masehi, 6 tahun lebih muda dari Dewi Naganingrum.
Kehadiran Dewi Pangrenyep sebagai istri yang dipaksakan oleh Sanjaya, bagi Premana Dikusuma yang sudah berusia 40 tahun dan berpredikat Bagawat tidak memperdulikan kebeliaan dan kecantikannya.
Prabu Prema Dikusuma lebih sering bertapa daripada mengurus pemerintahan. Dewi Pangrenyep yang masih muda belia merasa kecewa dengan sikap Sang Prabu. Ia tidak disukai berada di Keraton Galuh karena peristiwa kematian Bunisora oleh Sanjaya. Orang yang sangat melindunginya adalah Prabu Barmawijaya.
Mereka adalah sama-sama cicit Maharaja Tarusbawa, dilahirkan pada tahun yang sama 704 M di Keraton Sunda. Akibat sering bertemu antara Barmawija dan Dewi Pangrenyep, pada tahun 724 lahirlah Sang Bang 6 tahun lebih muda dari Sang Manarah. Prabu Premana Dikusuma dibunuh seorang prajurit utusan Prabu Barmawijaya, yang menginginkan tahta Galuh juga ke dua istrinya yaitu Dewi Naganingrm (yang terkenal dengan kecantikannya) dan Dewi Pangrenyep.
Prabu Barmawijaya berkuasa atas kerajaan Sunda-Galuh sampai tahun 739 Masehi. Turun tahta karena pembalasan Sang Manarah, Prabu Barmawijaya tewas bersimbah darah beserta Dewi Pangrenyep dihujani anak panah (lihat pembalasan Ciung Wanara).

Selanjutnya digantikan oleh Prabu Manarah dengan gelar abhiseka Prabu Jayaperkosa Mandaleswara Salakabuan. Memerintah di Kerajaan Galuh sampai tahun 783 Masehi. Dari permaisuri Kancana Wangi (cicit Resiguru Demunawan Raja Saungglah) memiliki putri bernama Dewi Puspasari yang dinikahi oleh Prabu Manisri. Tahun 783 Masehi Prabu Manarah mengundurkan diri dari tahta kerajaan untuk melakukan Manurajasunya. Ia wafat pada tahun 798 Masehi dalam usia 80 tahun. Tahta Kerajaan Galuh digantikan oleh menantunya, Prabu Manisri dan Ratu Dewi Puspasari. Prabu Manisri bergelar Prabu Darmasakti Wirajayeswara,  berkuasa dari tahun 783 - 799 M.

Kemudian digantikan oleh putranya yang bernama Prabu Tariwulan yang bergelar Prabu Kretayasa Dewakusaleswara. Memerintah tahta Galuh bersama permaisuri Dewi Saraswati putri Kerajaan Saunggalah sampai tahun 806 Masehi. Kemudian digantikan oleh putranya yang bernama Prabu Welengan dangan gelar Prabu Brajanagara Jayabuana, memerintah sampai tahun 813 M. Kemudian digantikan oleh putranya yang bernama Prabu Linggabumi. Karena Prabu Linggabumi tidak mempunyai keturunan, maka pada tahun 825 tahta Kerajaan Galuh diberikan kepada suami adiknya, yaitu Prabu Gajah Kulon (Rakeyan Wuwus). Berkuasa atas tahta Galuh-Sunda sampai tahun 825 Masehi. Kemudian digantikan oleh Prabu Arya Kedaton dengan gelar Darmaraksa Salakabuana, dengan permaisuri Dewi Widyasari adik Prabu Gajah Kulon. Prabu Arya Kedaton berkuasa sampai tahun 829 Masehi. Tewas dibunuh oleh seorang menteri utusan Prabu Arya Kedaton sebagai aksi balas dendam.

Kemudian tahta Kerajaan Galuh dipegang oleh putra Prabu Arya Kedaton yang bernama Prabu Windusakti dengan nama nobat Prabu Dewageung Jayeng Buana. Memerintah Kerajaan Galuh bersama permaisurinya yang bernama Dewi Sawitri (putri Prabu Gajah Kulon) sampai tahun 913 Masehi. Berikutnya Prabu Pucukwesi yang memerintah Kerajaan Galuh - Sunda sampai tahun 916 Masehi. Sebelum perebutan tahta Kerajaan oleh Jayagiri, tahta kerajaan Galuh telah diberikan kepada Prabu Jayadrata (cucu Batara Danghiyang Guruwisuda dari permaisuri Dewi Sundara). Prabu Jayadrata berkuasa penuh atas Kerajaan Galuh, tidak lagi sebagai Negara bawahan Sunda. Prabu Jayadrata berkuasa sampai tahun 949 Masehi, digantikan oleh putranya yang bernama Prabu Harimurti. Prabu Harimurti berkuasa sampai tahun 988 M.

Kemudian yang bertahta di Kerajaan Galuh adalah Prabu Linggasakti Jayawiguna. Memerintah di Kerajaan Galuh bersama permaisuri Dewi Rukmawati sampai tahun 1022 M. Setelah wafat digantikan oleh putranya bernama Praburesiguru Darmasatyadewa yang memerintah sampai 1027 Masehi. Kemudian digantikan oleh Prabu Sanghiyang Ageung, Kerajaan Galuh - Sunda kembali bersatu. Sebagai wakil dirinya, Prabu Sanghiyang Ageung menguasakan kepada Dewi Sumbadra (adik istrinya) untuk memerintah di Kerajaan Galuh. Dewi Sumbadra berkuasa di Kerajaan Galuh sampai tahun 1065 Masehi. Kemudian digantikan oleh putranya bernama Prabu Arya Tunggal Ningrat, yang memerintah Galuh sampai tahun 1041 Masehi. Setelah wafat digantikan oleh putranya yang bernama Resiguru Sudakarmawisesa yang menikah dengan Dewi Citrawati putri Resiguru Batara Hiyang Purnawijaya.Pada tahun 1111 Masehi Resiguru Sudakarmawisesa menyerahkan tahta Kerajaan Galuh kepada istrinya, ia memilih menjadi pertapa.

Ratu Dewi Citrawati sebagai penguasa Kerajaan Galuh dan pusat pemerintahannya di Kerajaan Galunggung.
berkuasa sampai tahun 1152 Masehi. Setelah wafat digantikan oleh putranya yang bernama Batara Danghiyang Guru Darmawiyasa dan berkuasa atas Kerajaan Galuh dan Galunggung.
Batara Danghiyang Guru Darmawiyasa berkuasa sampai tahun 1157 Masehi, setelah wafat digantikan oleh putranya yang bernama Maharaja Darmakusuma. Maharaja Darmakusuma menikahi putri Prabu Menakluhur raja Sunda yang bernama Ratna Wisesa, sehingga ia berkuasa atas tahta Galuh - Sunda dan Galunggung.

Kerajaan Galuh terpisan dari Kerajaan Sunda pada tahun 1475, yang berkuasa adalah Prabu Dewa Niskala putra Praburesi Niskala Wastu Kancana dari permaisuri Dewi Mayangsari. Pada tahun 1482 Prabu Dewa Niskala melepaskan tahta Kerajaan karena melanggar etika keraton. Yaitu menikahi rara hulanjar (gadis yang sudah bertunangan) yang melarikan diri dari Kerajaan Majapahit, saat itu sedang terjadi perebudan kekuasaan. Sekitar tahun 1478 M kerajaan Majapahit mendapat serasngan yang beruntu dari Demak, kemudian dasri Daha oleh Batara Prabu Girindrawardhana. Pengungsi dari Majapahit diantaranya ada yang mencari perlindung ke Keraton Galuh. Rombongan pengungsi tersebut dipimpin oleh Raden Baribin (saudara Prabu Kertabumi). Raden Baribin oleh Prabu Dewa Niskala dijodohkan dengan putrinya yang bernama Ratna Ayu Kirana. Kesalahan Prabu Dewa Niskala, yang pertama menikahi rara hulanjar dan yang kedua hal yang dianggap paling tabu untuk keraton Sunda-Galuh yaitu menikahkan putra atau putri dengan keluarga keraton Majapahit, hal itu setelah kejadian Palagan Bubat.

Prabu Susuktunggal yang memerintah tahta Sunda alangkah murkanya mengetahui apa yang dilakukan adiknya. Saat itu hampir terjadi perang saudara, namun seluruh pembesar ke dua kerajaan mencegah hal itiu agar tidak terjadi pertumpahan darah antara dua putra Hyang Praburesi Wastu. Akhirnya kedua raja sama-sama meletakan jabatan. Tahta Galuh - Sunda diberikan kepada Prabu Jayadewata.

Dari istri pertama, Prabu Dewa Niskala berputra:
1. Pamanahrasa atau Jayadewata
2. Ningratwangi, penguasa kerajaan daerah Galuh

Dari istri kedua berputra :
1. Banyakcakra atau kamandaka, menjadi Bupati Galuh di Pasir Luhur
2. Banyakngampar, menjadi Bupati Galuh di Dayeuh Luhur
3. Kusumalaya atau Ajar Kutamangu, kelak menikah dengan Ratu Simbar Kancana ratu Talaga 

Pada tahun 1482 Kerajaan Sunda - Galuh oleh Jayadewata disatukan dengan nama kerajaan baru yaitu Kerajaan Pajajaran yang beribukota di Pakuan (Bogor).

Sumber : Sejarah Jawa Barat