Pada
tahun 669 Masehi, Maharaja Linggawarman Raja Tarumanagara keduabelas wafat,
kemudia digantikan oleh menantunya
bernama Tarusbawa yang menikahi Putri Mansih. Tarusbawa dinobatkan
menjadi raja Tarumanagara pada tanggal 9 bagian terang bulan Jesta tahun 591
Saka atau 18 Mei 669 Masehi dengan nama nobat Sri Maharaja Tarusbawa Darmawaskita Manumanggalajaya
Sundasembawa. Karena
pamor Tarumanagara sudah memudar, maka Prabu Tarusbawa merubah nama kerajaan
Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda juga memindahkan Ibukota Kerajaan dari
Sundapura (Bekasi) ke Pakuan. Perubahan nama tersebut dimanfaatkan oleh
Praburesi Wretikandayun untuk kelepaskan diri dari kerajaan Tarumanagara dengan merubah
nama kerajaannya dari kerajaan Kendan menjadi Kerajaan Galuh, sebagai Negara
yang merdeka.
Prabu
Tarusbawa kemudian mendirikan lima buah keraton dengan bentuk dan ukuruan besar
yang sama, lima keraton tersebut adalah “Sri
Bima, Punta, Narayana, Madura dan Suradipati. Adik Putri Manasih bernama Sobakancana yang
dinikahi oleh Sri Jayanasa pendiri Kerajaan Sriwijaya, yang sama-sama naik
tahta pada tahun 669 Masehi. Maharaja Tarusbawa berkuasa atas Kerajaan Sunda
dari tahun 669 – 732 Masehi.
Tahta
Kerajaan Sunda selanjutnya dipegang oleh Maharaja
Sanjaya yang
menikahi Sekar Kancana yang bergelar Teja
Kacana Ayu Purnawangi,
cucu dari Maharaja Tarusbawa, saat itu Maharaja Sanjaya sedang berkuasa atas
Kerajaan Galuh sebagai ahli waris dari ayahnya Prabu Brata Senawa yang tewas di
bunuh oleh Purbasora (perebutan tahta Galuh) tahun 723 M, tahta Kerajaan Medang Bumi
Mataram (Jawa Timur) tahun 731 Masehi sebagai ahli waris dari kekeknya Prabu
Mandiminyak dan ayahnya Prabu Sena dan Kerajaan Sunda tahun tahun 732 Masehi.
Dengan gelar abhiseka “Maharaja
Harisdarma Bimaprakrama Prabu Maheswara Sarwajitasatru Yudapurnajaya.”
Karena ke tiga
kerajaan itulah, Maharaja Sanjaya dinamakan sebagai Maharaja Pulau Jawa (taraju Jawadwipa). Kemudian tahta kerajaan Sunda dikuasakan kepada putranya yang bernama
Tamperan Barmawijaya, sedangkan tahta kerajaan Galuh
dikuasakan kepada Permanadikusuma cucu Prabu Purbasora yang tewas
ditangan Sanjaya sebagai aksi balas dendam.
Permaisuri Prabu
Premana Dikusuma bernama Dewi Naganingrum dan Dewi Pangrenyep. Prabu Premana Dikusuma tewas dibunuh
dengan cara terselubung oleh Prabu Barmawijaya karena kecantikan Dewi
Naganingrum dan Dewi Pangrenyep. Selanjutnya Prabu Barmawijaya menikahi Dewi Naganingrum yang saat itu
sudah memiliki putra bernama Sang
Manarah, sedangkan Dewi Pangrenyep memiliki putra bernama Sang Banga hasil hubungan gelap dengan Prabu Barmawijayam lalu Prabu
Barmawijaya berkuasa atas Sunda dan Galuh. Prabu Barmawijaya berkuasa sampai tahun 739 M, karena adanya kudeta dari Sang Manarah yang mengetahui tentang kematian ayahnya. Kisah selengkapnya lihat Sang Manarah Ksatria Geger Sunten.
Dari
permaisuri, Prabu Hulukujang mempunyai seorang putri diberinama Dewi Samatha. Putri tersebut diperistri oleh
Rakeyan Hujungkulon. Prabu Hulukujang memerintah Kerajaan Sunda dari tahun 776
– 783 Masehi. Setelah Prabu Hulukujang wafat digantikan oleh menantunya Rakeyan
Hujungkulon dengan nama nobat Prabu
Gilingwesi. Prabu
Gilingwesi memerintah dari tahun 783 – 795 Masehi.
Pengganti
Prabu Gilingwesi adalah menantunya bernama Rakeyan Diwus yang menikah
dengan Dewi Arista,
nama nobat Rakeyan Diwus adalah Prabu
Pucuk bumi Darmeswara.
Memerintah Kerajaan Sunda dari tahun 795 – 819 Masehi. Setelah Prabu Pucuk Bumi
Darmeswara wafat digantikan oleh putranya yang bernama Rakeyan Wuwus, yang
bernama nobat Prabu Gajah Kulon.
Permaisuri
Prabu Gajah Kulon adalah Dewi
Kirana, adiknya Prabu Linggabumi penguasa Kerajaan Galuh. Karena
Prabu Linggabumi tidak mempunyai anak, maka ketika wafat tahta kerajaan Galuh
dipercayakan kepada Prabu Gajah Kulon sebagai adiknya. Dengan demikian Prabu
Gajah Kulon berkuasa atas kerajaan Galuh dan Sunda.
Dari
Dewi Kirana, Prabu Gajah Kulon memperoleh dua orang putra, yaitu :
1. Batara Danghyang Guruwisuda dan
2. Dewi Sawitri
Batara
Danghyang Guruwisuda
pada tahun 852 Masehi dipercaya memegang tahta Kerajaan Galuh. Sedangkan Dewi Sawitri diperistri oleh Rakeyan Windusakti putra Arya
Kedaton dan Dewi Widyasari, adiknya Prabu Gajah Kulon. Prabu Gajah Kulon memerintah
dari tahun 819 – 895 Masehi. Setelah wafat tahta kerajaan Sunda dan Galuh
direbut oleh Arya Kedaton (suami adik Prabu Gajah Kulon).
Arya
Kedaton naik tahta dengan nama nobat
Prabu Darmaraksa Salakabuana.
Baru empat tahun memerintan Prabu Darmaraksa dibunuh oleh seorang mentri
Kerajaan Sunda sehingga Prabu Darmaraka memerintah atas kerajaan Sunda – Galuh
dari tahun 825 – 829 Masehi. Kemudian digantikan oleh putranya yang bernama
Windusakti dengan nama nobat Prabu
Dewageung Jayeng Buana.
Dari perkawinnya dengan Dewi Sawitri, memperoleh dua orang putra, yaitu :
Rakeyan Kamuning Gading dan Rakeyan
Jayagiri. Prabu Dewageung memerintah dari tahun 829 – 913 Masehi. Kemudian
digantikan oleh putranya yang bernama Rakeyan Kamuning Gading dengan nama nobat Prabu Pucukwesi.
Prabu
Pucukwesi berkuasa atas tahta Sunda
hanya tiga tahun, karena digulingkan oleh adiknya (Rakeyan Jayagiri).
Rakeyan Jayagiri menjadi Raja Sunda dengan nama nobat Prabu Wanayasa Jayabuana pada tahun 916 Masehi. Sebelum terjadi perebutan
tahta di Kerajaan Sunda, tahta Kerajaan Guluh telah diwariskan kepada Prabu Jayadrata (cucu Batara Guruwisuda dari
putri Dewi Sundara).
Prabu
Wanayasa berusaha merebut tahta Galuh dengan menggunakan kekuatan besar namun
dapat dikalahkan oleh pasukan Kerajaan Galuh, kerajaan Galuh membebaskan diri
sebagai kerajaan yang merdeka dibawah naungan Prabu Jayadrata. Prabu Jayadrata
adalah adik ipar Rakeyan Limbur Kancana. Limbur Kancana adalah putra Prabu
Pucukwesi yang dibunuh oleh adiknya yaitu Prabu Jayagiri atau Prabu Wanayasa.
Prabu Wanayasa berkuasa atas Kerajaan Sunda sampai tahun 920 Masehi, karena
dibunuh oleh Limbur Kancana yang kemudian naik tahta di
kerajaan Sunda, pembuhunan tersebut atas perintah Prabu Jayadrata. Prabu Limbur
Kancana memerintah di Kerajaan Sunda dari tahun 920 – 930 Masehi. Karena saat
berkunjung ke keraton Galuh Prabu Limbur Kacana dibunuh oleh seseorang atas
perintah Dewi Ambawati (putri Prabu Wanayasa yang
dibunuh oleh Limbur Kancana) sebagai aksi balas dendam.
Tahta
Kerajaan Sunda beralih kepada
Rakeyan Watuageung, suami Dewi Ambawati
dengan nama nobat Praburesi Atmayadarma Hariwangsa, naik tahta pada tahun 930
Masehi. Prabu Limbur Kancan berputra dua orang yaitu, Rakeyam Sunda Sembawa dan
Dewi Somya. Pada tahun 964 Masehi, Sunda
Sembawa berhasil merebut tahta kerajaan Sunda dari Prabu Atmayadarma. Kemudian naik tahta dengan nama nobat Prabu Munding Ganawirya Tapakmanggala atau Prabu Medang Gana. Karena semua putranya
meninggal, saat ia wafat tahun 973 Masehi digantikan oleh suami adiknya (Dewi
Somya) yang bernama Prabu
Wulung Gadung. Prabu
Wulung Gadung memerintah sampai tahun 989 Masehi, kemudian digantikan oleh
putranya yang bernama Rakeyan Gendang dengan nama nobat Prabu Brajawisesa.
Prabu
Brajawisesa mempunyai putra bernama Dewa Sanghiyang (putra mahkota) dan Dewi
Rukmawati. Dewi Rukmawati
dijadikan permaisuri oleh Prabu Linggasakti Jayawiguna yang bertahta di Kerajaan Galuh.
Prabu Brajawisesa memerintah dari tahun 989 – 1012 Masehi, digantikan oleh
putranya Prabu Dewa
Sanghiyang. Pada
tahun 1012 Prabu Linggasakti yang tidak memilki putra wafat, maka kerajaan
Galuh dipercakan kepada Prabu Dewa Sanghiyang sebagai kakak iparnya. Prabu Dewa
Sanghiyang berkuasa atas kerajaan Galuh, sebagai wakil dirinya di Kerajaan
Galuh dipercayakan kepada keponakannya yang bernama Prabu Resiguru Darmasatyadewa. Prabu Dewa Sanghiyang
memerintah hingga tahun 1019 Masehi. Kemudian digantikan oleh putranya yang
bernama Prabu Sanghiyang Ageung yang berkuasa atas Sunda –
Galuh. Sebagai wakil dirinya, di kerajaan Galuh dipercayakan kepada adik
istrinya yang bernama Dewi
Sumbadra, mereka
memerintah dimuali pada tahun 1019 Masehi. Pada tahun 1030, Prabu Sanghiyang
Ageung wafat, dan digantikan oleh putranya yang bernama Sri Jayabhupati.
Tentang
Sri Jayabhupati Pleyte (1915) membahasnya dalam artikel “Maharaja Sri
Jayabhupati Soenda’s Oudst Bekende Vorst” dengan mengetengahkan prasati
Cibadak. Prasasti tentang Maharaja Sri Jayabhupati ditemukan pada tahun 1890 M
di hutan pingir Sungai Citatih, dekat leuwi Kalabang. Kemudian oleh pihak
museum diberi nomor D.73. Tiga buah prasati lain yang ada hubungannya dengan
Sri Jayabhupati ditemukan oleh J. Faes pada tahun 1897 M dari dalam hutan
Bantar Muncang, Kecamatan Cibadak – Sukabumi. Isi prasasti tersebut menerangkan
dibuat oleh Sri Jayabhupati Raja Sunda, serta menerangkan batas-batas kekuasaan
dan sumpah. Isi sumpah selanjutnya adalah permohonan kepada semua kekuatan
ghaib yang telah disebut (Hyang Siwa, Agstya, timur, selatan, barat, utara,
tenggara, barat-daya, barat-laut, zenith, nadir, matahari, bulan bumi, air,
angin, api, sungai, kekuatan, angkasa, cahaya, sanghiyang malam, senja, yaksa,
raksasa, picasa (peri), sura, garuda, buaya, kinara (manusia burung), naga,
keempat pelindung dunia, yama, Baruna, kuwera, Besawa dan putra dewata
pancakusika, lembu tunggangan Siwa, mahakala, Dewi Durga, Ananta (dewi ular),
buta (raksasa), surindra, putera Hiyang Kalamercu, gana (makhluk setengah
dewa), para arwah, semoga ikut menjelma merasuki semua orang……….Kalian
gerakanlah supata, janji, sumpah dan seruan raja Sunda ini…)
Prasasti
Cibadak tentang Sri Jayabhupati penuh misteri, karena prasasti tersebut
ditemukan di Jawa Barat tulisanya berhuruf dan berbahasa Jawa Kuno. Penelitian
para ahli seperti, Pleyte, Krom, Darmais dan De Casparis berfokus pada prasasti
Sunda berhuruf dan berbahasa Jawa Kuno.
Sri
Jayabhupati yang juga bernama Prabu Ditrya Maharaja, ketika masa Kerajaan Sunda
diperintah oleh kakeknya, Prabu Dewa Sanghiyang pada tahun 1012 sampai tahun
1019 M, ia menjadi Senapati Muda, kemudian menjadi Panglima Angkatan Perang
Kerajaan Sunda.
Sri
Jayabhupati mempunyai istri tiga orang, yaitu :
1. Dewi Wulansari, putri Sri Darmawangsa Teguh, Dewi Laksmi (kakak Dewi Wulansari) diperistri oleh Airlangga (Erlangga) Raja Kediri.
2. Dewi Suddhiswari, putri dari Kerajaan Sriwijaya, dan
3. Bhatari Pertiwi, dari Galuh putri Ratu Dewi Sumbadra.
1. Dewi Wulansari, putri Sri Darmawangsa Teguh, Dewi Laksmi (kakak Dewi Wulansari) diperistri oleh Airlangga (Erlangga) Raja Kediri.
2. Dewi Suddhiswari, putri dari Kerajaan Sriwijaya, dan
3. Bhatari Pertiwi, dari Galuh putri Ratu Dewi Sumbadra.
Nama
nobat Sri Jayabhupati adalah Sri Jayabhupati Jaya Manahen Wisnumurtti
Samarawijaya Sakalabhuwanamadaleswaranindita Harogowardhanawikramattunggadewa, yang bercorak nama gelar
keraton Jawa Timur itu adalah hadian perkawinan dari mertuannya (Sri
Dharmawangsa Teguh).
Dari
Dewi Wulansari berputra : Prabu Darmaraja, (menggantikan ayahnya sebagai Raja
Galuh,) Suryanagara (menjadi panglima angkatan perang), Dewi Nirmala (yang
diperistri oleh seorang pembersar dasri kerajaan wilayah Bali), dan Dewi Sugara
(yang diperisteri oleh seorang pembesar dari Jawa Timur).
Dari
Dewi Sudhiswari berputra : Wirakusuma (menjadi menteri maritime ), dan
Wiramajaya (menjadi panglima angkatan Laut).
Dari
Bhatari Pertiwi berputra : Batara Hyang Purnawijaya (menjadi resiguru di daerah
Galuh, mempunyai dua orang putri, yaitu Dewi Puspawati dan Dewi Citrawati),
Dewi Purnawangi, Dewi Surabhi dan Sang Surendra.
Sri
Jayabhupati memerintah Kerajaan Sunda
dari tahun 1030 – 1042 Masehi, digantikan oleh putranya yang bernama Prabu Darmaraja dengan nama nobat Prabu Darmaraja Jayamanahen Wisnumurti
Sakalasundabuana.
Prabu Darmaraja menikahi Dewi Surastri putri Prabu Arya Tunggalningrat raja Galuh.
Prabu Darmaraja dari permaisuri Dewi Surastrim, berputra : Prabu Langlangbumi
(putra mahkota). Darmanagara (menjadi mangkubumi) dan Wirayuda (panglima
angkatan perang). Prabu Darmaraja memerintah sampai tahun 1065 Masehi,
digantikan oleh putranya bernama Prabu Langlangbumi.
Prabu
Langlangbumi menikahi Dewi Puspawati putri Resiguru Batara Hyang Purnawijaya,
sebetulnya Dewi Citrawati berharap dinikahi oleh Prabu Langlangbumi namun ia
lebih memilih kakaknya. Sehingga Dewi Citrawati sangat membenci Prabu
Langlangbumi dan Dewi Puspawati (kakaknya). Untuk menenangkan hati putrinya
Sang Resiguru menikahkan Dewi Citrawati dengan Resiguru Sudakarmawisesa penguasa Kerajaan Galunggung. Akan tetapi setelah
perkawinannya, Resiguru menyerahkan tahta kerajaan kepada Dewi Citrawati,
Resiguru memilih jalan hidupnya mendalami keagamaan.
Perselisihan
antara Prabu Langlangbumi dengan Ratu
Dewi Citrawati (Batari Hyang Janapati)
cukup sengit, akhirnya ditempuh jalan damai. Prabu Langlangbumi tetap memegang
kerajaan Sunda, sedangkang Ratu Dewi Citrawati berkuasa atas tahta Galuh dengan
ibu kota Galunggung.
Prabu
Langlangbumi berkuasa dari tahun 1065 – 1155 M. Dari permaisuri Dewi Puspawati
berputra Rakeyan Jayagiri dan Cakranagara. Rakeyan Jayagiri naik tahta tahun
1155 dengan nama nobat Prabu
Menakluhur. Prabu
Menakluhur memperistri Ratna Satya, mempunyai putri bernama Ratna Wisesa yang
dinikahi oleh Prabu Darmakusuma raja Galuh, cucu Batari Hiyang Janapati Ratu
Galunggung – Galuh.
Prabu
Menakluhur memerintah hingga tahun 1557, digantikan oleh menantunya Prabu
Darmakusuma. Prabu Darmakusuma dengan permaisuri Ratna Wisesa
memerintah tiga kerajaan, yaitu : Sunda – Galuh dan Galunggung. Kerajaan
Galunggung dipercayakan kepada Prabu
Arya Santika Putra Mangkubumi Cakranagara. Prabu Menakluhur 1175, digantikan
oleh putranya bernama Prabu
Darmasiksa dengan
nama nobat Prabu Guru
Darmasiksa Paramarta Sang Mahapurusa atau Prabu Sanghiyang Wisnu. Prabu Darmasiksa menikahi putri
Kerajaan Saunggalah, sehingga ibukota kerajaan selama 12 tahun berpusat di
Saunggalah dari tahun 1175 sampai tahun 1187, berpindah ke Pakuan. Prabu
Darmasiksa menguasai empat Kerajaan, yaitu : Sunda-Galuh-Galunggung dan
Saunggalah. Prabu Darmasiksa memiliki tiga orang istri, yaitu :
1. Putri Saunggalah, berputra diantaranya Rajapurana.
2. Putri Darmageung, berputera beberapa orang diantasranya Ragasuci yang bergelar Rahiyang Saunggalah, karena ketika ayahnya memindahkan Ibukota ke Pakuan, ia menjadi raja Saunggalah.
3. Putri Swarnabhumi (Sumatra Selatan), yang bernama Dewi Suprabha Wijayatunggadewi, keturunan Sanggramawijayatunggawarman, penguasa Kerajaan Sriwijaya (1018-1027 M). berputra beberapa orang diantaranya, Rahiyang Jayadarma.
1. Putri Saunggalah, berputra diantaranya Rajapurana.
2. Putri Darmageung, berputera beberapa orang diantasranya Ragasuci yang bergelar Rahiyang Saunggalah, karena ketika ayahnya memindahkan Ibukota ke Pakuan, ia menjadi raja Saunggalah.
3. Putri Swarnabhumi (Sumatra Selatan), yang bernama Dewi Suprabha Wijayatunggadewi, keturunan Sanggramawijayatunggawarman, penguasa Kerajaan Sriwijaya (1018-1027 M). berputra beberapa orang diantaranya, Rahiyang Jayadarma.
Rahiyang
Jayadarma beristrikan Dewi Naramurti (Gayatri) yang bergelar DyahLembu Tal, puterinya
Mahisa Campaka dari Jawa Timur. Dari perkawinannya dengan Dyah Lembu Tal
berputera Nararya Sasnggramawijaya atau Rakeyan Wijaya yang dikenal dalam
sejarah Jawa Timur sebagai Raden Wijaya. Karena Rahiyang Jayadarma meninggal
muda sebelum jadi raja, Dyah Lembu Tal berpamit pulang ke Jawa Timur sambil
membawa Raden Wijaya. Raden Wijaya kelak menjadi
Pendiri Kerajaan Majapahit dengan gelar Prabu Kretarajasa Jayawardhana.
Prabu
Guru Darmasiksa dikaruniai umur panjang, ia naik tahta pada tahun 1175 Masehi sampai
1297 Masehi, 122 tahun memerintah di Kerjaan Sunda. Kemudian digantika oleh
putranya yang bernama Prabu
Ragasuci. Permaisuri
Prabu Ragasuci adalah Dara Puspa adiknya Dara Kancana yang diperistri oleh Prabu
Kretanagara. Prabu Ragasuci memerintah kerajaan Sunda sampai tahun 1303 Masehi.
Kemudian digantikan oleh putranya yang bernama Prabu Citraganda.
Permaisuri Prabu Citraganda adalah Dewi Antini, putri Prabu Rajapurana raja
kerajaan Saunggalah (putera Prabu Darmasiksa dari putri Saunggalah). Ia memerintah sampai tahun 1311 Masehi,
kemudian digantikan oleh putranya bernama Prabu Linggadewata yang berkuasa atas
tahta Sunda-Galuh hingga tahun 1333. Kemudian digantikan oleh suami adiknya
yang bernama Prabu Ajiguna Linggawisesa yang memperistri Ratna Umalestari putri
Prabu Citraganda.
Prabu Ajiguna memindahkan pusat pemerintahan dari Pakuan ke
Kawali – Galuh. Dari permaisuri Ratna Umalestari berputra :
1. Prabu Ragamulya Luhur Prabawa (putra mahkota)
2. Dewi Kiranasari, yang diperistri oleh Prabu Arya Kulon raja daerah Sunda. Prabu Arya Kulon dari permaisuri Dewi Kiranasari berputra :
1. Prabu Ragamulya Luhur Prabawa (putra mahkota)
2. Dewi Kiranasari, yang diperistri oleh Prabu Arya Kulon raja daerah Sunda. Prabu Arya Kulon dari permaisuri Dewi Kiranasari berputra :
a.
Dewi
Laralinsig sebagai Permaisuri Maharaja Linggabuana yang gugur di Palagan Bubat.
b.
Prabu
Pulasara, yang menggantikan tahta ayahnya sebagai raja daerah Sunda 1350 – 1357
c.
Prabu
Linggatunggal, menjadi raja daerah Sunda 1357 – 1367 Masehi.
3. Suryadewata, yang menurunkan
raja-raja Kerajaan Talaga
Prabu
Ajiguna Linggawisesa memerintah di Kerajaan Sunda dari tahun 1333 – 1340
Masehi. Kemudian digantikan oleh putranya, Prabu Ragamulya Luhurprabawa. Prabu
Ragamulya memerintah kerajaan Sunda sampai tahun 1350 Masehi. Dari permaisuri
memperoleh dua orang putra yaitu : Linggabuana dan Bunisora. Tahta Kerajaan
Sunda kemudian diganti oleh Prabu Linggabuana dengan nama nobat Prabu Maharaja Linggabuana. Dinobatkan menjadi Maharaja Sunda
pada tanggal 14 bagian terang bulan Palguna tahun 1272 Saka atau tanggal 22
Pebruari 1350 Masehi. Menikah dengan Dewi Laralinsig putri Prabu Arya Kulon.
Permaisuri Dewi Laralinsig berputra :
1. Oleh kakeknya dibernama Citraresmi, oleh ayahnya dibernama Dyah Pitaloka, yang lahir pada tahun 1339 Masehi.
2. Niskala Wastu Kancana, yang lahir pada tahun 1348 Masehi.
1. Oleh kakeknya dibernama Citraresmi, oleh ayahnya dibernama Dyah Pitaloka, yang lahir pada tahun 1339 Masehi.
2. Niskala Wastu Kancana, yang lahir pada tahun 1348 Masehi.
Kisah
tentang Maharaja Linggabuana yang gugur di Palagan Bubat lihat Dyah Pitaloka
Maharaja
Linggabuana atau Prabu Wangi memerintah dari tahun 1350 – 1357 Masehi, karena
saat Maharaja wafat putra mahkota Wastu Kancana masih berusia 9 tahun, maka
tahta Kerajaan untuk sementara oleh pamannya yaitu Mangkubumi Bunisora dengan
nama nobat Prabu Guru
Pangadiparanmarta Jayadewabrata.
Dalam pemerintahannya Prabu Bunisora cenderung sebagai raja pendeta, yang
diwarnai suasana religius (lihat Tanjeur Na Juritan Jaya Dibuana)..Praburesi
Bunisora Suradipati memerintah di Kerajaan Sunda sampai tahun 1371. Dari
permaisuri Laksmiwati berputra :
1. Giridewata, atau Ki Gedeng
Kasmaya, kelak menjadi raja daerah di Wilayah Cirebon Girang
2. Bratalagawa, kelak memeluk agama
Islam dan menjadi Haji pertama di Jawa Barat, sehingga ia dijulki Haji Purwa
Galuh, cucu Bratalagawa yang bernama Khadijah kelak menjadi istri Syeh Datuk
Kahfi.
3. Banawati, menjadi Ratu daerah
Galuh, dan
4. Dewi Mayangsari, menjadi
permaisuri Niskala Wastu Kancana
Setelah
berusia 23 tahun Niskala Wastu Kancana dinobatkan menjadi raja Sunda dengan gelar Mahaprabu Niskala Wastu Kancana
atau Praburesi Buanatunggal Dewata.
Prabu Wastu menikahi Ratna Sarkati yang berusia 19 tahun putri Resi Susuk
Lampung dari Sumatra Selatan dan Dewi Mayangsari yang berusia 17 tahun putri
Praburesi Bunisora (pamannya).
Dari
permaisuri Ratna Sarkati berputra : Sang Haliwung, (calon Raja Sunda)
Dari
permaisuri Dewi Mayangsari berputra :
1. Ningrat Kancana (calon Raja
Galuh)
2. Ki Gedeng Sindangkasih, bertahta
sebagai raja daerah Sindangkasih
3. Ki Gedeng Tapa
Sebelum
wafat Mahaprabu Wastu membagi dua kerajaan, wilayah Citarum ke Barat sebagai
Kerajaan Sunda diwariskan kepada Sang Haliwung atau Susuktunggal dengan nama
nobat Prabu Dewatmaka, dan wilayah Citarum ke Timur sebagai Kerajaan Galuh diwariskan
kepada Ningrat Kancana dengan nama nobat Prabu Dewa Niskala.
Mahaprabu
Niskala Wastu Kancana wafat tahun 1475, memerintah Kerajaan Sunda dengan pusat
pemerintahan di Kawali selama 103 tahun 6 bulan 15 hari. Kemudian digantikan
oleh Prabu Susuktunggal. Prabu Susuktunggal menikah dengan Baramuci Larang, putri
Prabu Surendrabuanaloka atau cucu Prabu Langgatunggal raja daerah Sunda.
Dari
permaisuri Baramuci Larang berputra :
1. Surabima atau Prabu Amuk Murugul, yang menjadi raja daerah di Japura (Cirebon).
2. Kentring Manik Mayang Sunda, yang diperistri oleh Jayadewata atau Sri Baduga Maharaja, Raja Pajajaran (putra Prabu Dewa Niskala).
3. Dipati Kranda, menjadi Bupati di Sunda Kelapa
1. Surabima atau Prabu Amuk Murugul, yang menjadi raja daerah di Japura (Cirebon).
2. Kentring Manik Mayang Sunda, yang diperistri oleh Jayadewata atau Sri Baduga Maharaja, Raja Pajajaran (putra Prabu Dewa Niskala).
3. Dipati Kranda, menjadi Bupati di Sunda Kelapa
Dari
istri kedua berputra :
1. Prabu Wudubasu, yang menjadi raja daerah di wilayah Tanjung
2. Sang Pulanggana, menjadi Ratu di wilayah Gunung Batu, putrinya yang bernama Dewi Nilamsari diperistri oleh Adipati Yasanagara, raja wilayah Pagawok.
1. Prabu Wudubasu, yang menjadi raja daerah di wilayah Tanjung
2. Sang Pulanggana, menjadi Ratu di wilayah Gunung Batu, putrinya yang bernama Dewi Nilamsari diperistri oleh Adipati Yasanagara, raja wilayah Pagawok.
Karena
persilisihan paham yang hampir terjadi peperangan dengan adiknya (Prabu Dewa
Niskala), akhirnya para pembesar Kerajaan Galuh dan Sunda meminta ke dua adik
kakak tersebut lengser untuk menghindari perang saudara. Akhirnya pada tahun
1482 Prabu Susuktunggal dan Prabu Dewa Niskala turun tahta. Tahta Kerajaan
Sunda-Galuh diberikan kepada Prabu Jayadewata (putra Dewa Niskala dan menantu
Susuktunggal).
Prabu
Jayadewata merubah nama Kerajaan menjadi Kerajaan Pajajaran, dengan Ibukota
Pakuan. Prabu Jayadewata
bergelar Sri Baduga Maharaja Jayadewata,
dengan gelar abhiseka Sri Baduga Maharaja Ratu Haji Pakuan
Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata.
Berkuasa atas tahta Pajajaran dari tahun 1482 – 1521 Masehi.
Sri Baduga Jayadewata mempunyai empat orang istrim yaitu :
1. Ratu Ratnasih atau Ratu Rajamantri, putri Sunan Pagulingan raja Sumedang Larang
2. Subanglarang, putri Ki Gedeng Tapa Raja Singapura (Cirebon)
3. Ambetkasih, putri Ki Gedeng Sindangkasih Raja Sindangkasih (Cirebon Girang)
4. Kentring Manik Mayang Sunda, putri Prabu Susuktunggal.
1. Pustaka Rajya-Rajya I Bhumi Nusantara - Pangeran Wangsakerta 1677 - 1698 M
2. Pustaka Pararatwan I Bhumi Jawadwipa - R.Ng. Purbatjaraka 1921 M
3. Pustaka Nagara Kretabumi - Dr. Ayat Rohaedi 1986 M
4. Sejarah Jawa Barat (Yuganing Rajakawasa) - Yoseph Iskandar 1997 M
No comments:
Post a Comment